Being single is my own choice

"Kamu udah mati rasa, sih.. Kasian kalo besok ada cowok yang tulus buat kamu."

Well, sepotong kata itu masih mengganggu saya, sampai detik ini. Seseorang mengucapkan (atau mengetik) kata-kata itu di saat kami sedang membicarakan tentang membuka hati. Tentang bagaimana Tuhan telah mengatur sedemikian rupa sehingga kita dipertemukan dengan orang-orang yang salah sebelum akhirnya dipertemukan dengan orang yang tepat.

Saya sedang tidak ingin memikirkan hal itu. Saya sedang tidak berminat untuk berpacaran, setidaknya sampai detik ini. Bukan karena nggak bisa move on atau trauma. Tapi lebih karena saya malas. Malas untuk mengulang hal yang sama dengan orang yang berbeda. Padahal saya termasuk dalam lingkup orang yang tidak sering bergonta-ganti pacar. Jumlah saya berpacaran pun tidak lebih dari sebelah jari tangan. Namun, saya mengalami kejenuhan yang amat sangat, terutama setelah saya (pada akhirnya) mengakhiri hubungan saya dengan seseorang sekitar setahun yang lalu.

Jujur aja, selama setahun belakangan ini saya bukannya tidak membuka hati. Saya sempat dekat dengan beberapa laki-laki yang ujung-ujungnya juga berakhir sebelum jadian. Cowok datang dan pergi gitu aja, ada yang bikin galau, ada yang enggak. Itu lah hidup. Saya hanya merasa jenuh dengan itu semua. Saya merasa hal itu merupakan siklus berulang. Pedekate-jadian-manis di awal- berantem-berantem hebat-putus. Lalu bagaimana? Hm. Saya jenuh. Saya merasa terpedaya oleh satu kata bernama cinta.

Belakangan saya mulai dekat dengan seseorang yang, jujur aja, beda. Ya nggak tau juga, di awal-awal kan pasti gitu, nggak tau deh nanti di akhir seperti apa. Saya akui, saya suka sama orang itu. Sebatas suka aja. Nyaman untuk bbman atau sekedar main bareng. Tapi, untuk punya status lebih, saya belum ada pikiran ke sana. Untuk apa? Walaupun dia berbeda, tapi saya belum menemukan klik yang tepat untuk menjadikannya sebuah alasan untuk bersama. Hati saya masih menutup. Saya nggak tau, apakah dia tulus atau tidak. Saya percaya, ketulusan seseorang nantinya akan terlihat, cepat atau lambat. Bahkan jika kami saling menyukai, atau nantinya akan saling menyayangi, hal itu bukanlah alasan klasik untuk kami bersama. Justru ketika kami memiliki perasaan yang sama, bukan kah sebaiknya kami tidak saling bersama untuk membiarkan perasaan itu nantinya akan semakin berkembang atau semakin hilang?

Kadang, saya merasa hidup ini lucu. Nggak munafik, ada satu momen di saat saya juga sebenernya ingin punya pacar. Ada satu saat di mana saya ingin punya seseorang yang dapat menjadi pelindung dan memberi perhatian. Hanya aja saya belum siap dengan resiko-resiko ketika saya pada akhirnya punya pacar. Kegagalan saya dalam pacaran selama ini membuat saya benar-benar selektif. Saya tidak ingin terburu-buru memulai suatu hubungan yang hanya terlihat manis di awal aja. Saya masih ingin bebas. Saya masih tidak ingin terikat dengan apapun itu. Saya masih ingin terbang mengukir mimpi, berpetualang bersama teman-teman tanpa harus repot-repot pamit pada pasangan. Tanpa harus menjelaskan bahwa dia hanyalah teman, tidak lebih (Huh, males banget!). Saya masih ingin menjadi single. Saya malas dengan segala pertengkaran hebat yang disebabkan oleh hal sepele. Dan, saya amat sangat membenci pengekangan.

Beberapa cowok yg pernah menjadi pacar saya merupakan tipe cowok posesif. Ini itu nggak boleh. Terutama main sama cowok. Hih, padahal kebanyakan saya berteman dengan cowok. Di sini saya merasa bahwa pacaran hanyalah pembelenggu. Saya merasa bahwa kepercayaan yang harusnya menjadi landasan orang berpacaran tak lagi berpengaruh. Saya ingin bebas, saya ingin terbang tanpa ada pemberat yang membelenggu.

Iya, memang seharusnya lebih selektif. At least, pilih-pilih itu perlu. Surga-neraka aja (sebenernya) pilihan, kan? Pilih-pilih itu bukan hanya mencari yang terbaik, namun juga yang ternyaman. Di mana dia dapat memposisikan sebagai pacar, kakak, teman, maupun partner. Bagi saya, sebagai wanita, tidak ada salahnya untuk mempertimbangkan hal ini secara mendalam. Bukannya sok jual mahal, tapi karena usia saya yang semakin bertambah membuat saya berpikir bahwa hal ini tidak bisa lagi dipikirkan secara main-main. Saya bukan lagi anak SMA yang jika putus bisa dengan gampangnya beralih ke yang lain. Saya perlu memahami konsep cinta dalam level yang lebih matang.

Dibilang menutup hati, enggak juga. Tapi dibilang membuka, juga enggak. Mati rasa pun juga enggak. Mungkin memang ada masanya di mana seseorang ingin sendiri, menikmati kesendiriannya. Nyaman dengan kesendiriannya. Ketika hal itu terjadi, berpacaran bukan lagi prioritas yang ingin dicapai. Walaupun tidak munafik ya, semua orang pasti ingin punya pasangan hidup. Sepertinya kurang tepat jika dibilang mati rasa. Hanya aja lebih ke 'bosan' dan 'kebal' dengan keadaan yang itu-itu saja. I need something new and fresh. And being single is the best way for me to enjoy my own time. Loneliness is not pathetic. At least, gua masih bisa bahagia. Gua masih punya alasan untuk tersenyum. Walaupun di saat teman-teman saya mulai sibuk dengan pacarnya, saya masih merasa bahwa saya belum waktunya memiliki pacar. There are so many things to think before i start it. 



Single itu pilihan, man!



0 komentar