My Imperfect Mom

Bagi mayoritas manusia di Bumi, Ibu adalah orang yang sangat penting. Ibu adalah sosok yang sempurna. Cantik, baik, serba bisa, rela berkorban, berhati lapang, dan beribu-ribu sifat baik lainnya.

Banyak sekali postingan-postingan tentang Ibu yang berseliweran di media sosial saya. Tentang bagaimana teman-teman saya memuja dan memuji Ibunya, tidak bisa hidup tanpa Ibunya, rindu dengan Ibunya, dan kata-kata manis lainnya. Khususnya saat Hari Ibu tiba, banyak sekali ucapan manis untuk para Ibu yang terlontar di media sosial saya.

Saya tidak pernah melakukan hal itu. Bukan karena saya tidak mau, tapi saya tidak bisa. Hubungan saya dengan Ibu saya tidak bisa dikatakan akrab (walaupun tidak renggang juga sih). Ibu saya tidak seperti yang ada di cerita-cerita anak-anak yang selalu menjadi pelindung. Ibu saya tidak seperti apa yang ada di cerpen majalah anak-anak yang sering menguras air mata terharu. Ibu saya tidak seperti apa yang orang-orang katakan di sosial media, yang ditulis dengan kalimat manis berikut dengan kesempurnaan-kesempurnaannya.




Ibu saya adalah wanita biasa. Ibu rumah tangga biasa. Ibu saya tidak selesai kuliahnya karena Ibu saya tidak pintar. Ibu saya tidak terlalu cantik. Ibu saya kurang bisa berdandan dan merawat kecantikan fisik. Ibu saya hobi banget ghibahin tetangga. Ibu saya selalu ikut ngomel saat ada karakter jahat di sinetron. Ibu saya pelit. Ibu saya canggung dan kurang bisa berbaur. Ibu saya kurang bisa memasak dan selalu sebal jika anaknya request masakan. Ibu saya suka sebal jika ada orang menawarkan dagangan ke rumah atau jika ada pengemis di depan rumah. Dan masih banyak lagi sifat-sifat Ibu saya yang bertolak belakang dengan apa yang seharusnya tercermin di definisi seorang Ibu.

Bertahun-tahun, saya menghabiskan waktu untuk bertengkar dengan Ibu. Bernada tinggi, membentak, membanting pintu, dan lain sebagainya. Sering sekali kami bertengkar hanya karena saya jajan pop ice. Hanya karena saya main ke rumah tetangga. Ibu selalu marah saat saya meminta dibelikan barang yang sedikit mahal. Ibu tidak pernah mengajari saya matematika atau PPKn tetapi selalu marah jika nilai saya jelek. Ibu saya pun tega ikut memarahi saya di depan guru karena baju saya tidak rapi. Sudah bukan keanehan lagi jika saya dan Ibu bertengkar hebat. Nada tinggi dan teriakan keras sudah menjadi hal biasa di rumah saat saya bertengkar dengan Ibu saya, belasan tahun yang lalu.

Bertahun-tahun, saya malu memiliki seorang Ibu yang seperti ini. Yang cara berpakaian dan berdandannya selalu mengundang tawa teman-teman saya jika ada pertemuan orangtua di sekolah. Yang cara berbicaranya selalu membuat orang jadi ghibahin Ibu saya di belakang. Juga membuat saya malu jika ada teman yang datang ke rumah karena rumah selalu berantakan dan tidak ada masakan atau cemilan layak yang bisa disuguhkan. 

Saya iri dengan teman-teman yang memiliki Ibu sempurna. Ibunya cantik, bisa menyetir mobil, bisa berbicara dengan lugas dan tak berbelit-belit. Saya selalu iri dengan teman-teman yang Ibunya serba bisa, dengan Ibunya si A yang selalu ramah dan menghidangkan masakan enak saat saya ke rumahnya, dengan Ibunya B yang selalu membelikan jajanan ketika bertamu di rumahnya, dengan Ibunya C yang mengijinkan si C main ke mall bersama teman-teman lainnya. Semua itu tidak pernah saya temukan pada Ibu saya.

Tapi, semakin saya dewasa, saya menyadari bahwa saya tidak bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Tuhan sudah menakdirkan saya menjadi seorang anak dari Ibu yang seperti ini. Bahkan Ibu saya, dengan segala keburukannya, itupun adalah segala sifat yang diberikan Tuhan kepadanya.

Saya mulai menyadari bahwa menyayangi Ibu yang sempurna itu mudah. Menyayangi seorang Ibu yang cantik, pintar, rajin, dan serba bisa adalah sesuatu yang sangat-sangat mudah.

Namun, lain halnya dengan seorang Ibu yang sifatnya tidak sempurna. Menyayanginya butuh proses ekstra. Membutuhkan kelapangan hati untuk menerima segala kekurangan itu. Membutuhkan hati yang sangat-sangat tulus untuk menyayanginya sepenuh hati.

Pada akhirnya, rasa malu yang saya rasakan berubah menjadi rasa peduli. Rasa benci berubah jadi empati. Saya berfikir, jika saya anak yang baik, seharusnya saya berkewajiban untuk menuntun Ibu saya menjadi lebih baik. Kemudian saya mulai membantu Ibu saya ketika memilih baju yang dipakai bepergian, saya memilihkan skincare untuk Ibu, saya membantu mendandani Ibu ketika ada acara. Juga mendampingi ketika Ibu saya sedang berbicara, membantu meluruskan apa yang dikatakan Ibu saya. Ketika di rumah, saya banyak-banyak ngobrol dengan Ibu, berusaha membicarakan hal-hal baik supaya Ibu saya tidak sering-sering ghibah. Mengingatkannya ketika Ibu sudah mulai mengomel dan lain sebagainya.

Pada akhirnya, rasa sayang itu tumbuh dengan sendirinya. Rasa malu pun akhirnya hilang biarpun masih banyak yang menertawakan dan ngrasani Ibu saya. Tapi saya tak lagi peduli. Bagi saya, yang penting saya akan terus berusaha menuntun Ibu saya menjadi orang yang lebih baik. Jika saya kesulitan mengerem ghibahnya Ibu, at least saya bisa membelokkan ke hal yang lain misalnya membicarakan kucing kesukaannya atau bicara piknik ke suatu tempat yang disukainya.

Saya jadi ingat satu kejadian. Ketika saya menikah, saya melakukan prosesi sungkeman dengan kedua orangtua. Saat saya sungkem dengan Ayah saya, tidak ada air mata yang keluar. Bahkan sejujurnya saya agak canggung. Padahal seumur hidup saya, saya sangat menyayangi dan mengidolakan Ayah saya (pernah saya tulis di postingan ini). Beliau adalah seorang pekerja keras dengan banyak sekali sifat baik yang menempel pada dirinya (See? Begitu mudah kan menyayangi orangtua yang sempurna?). Nah, saat saya sungkem dengan Ibu saya, tanpa terencana dan tanpa ada sesuatu apapun, tiba-tiba saya menangis di pangkuan Ibu. Sesenggukan. Tanpa tau apa penyebab saya menangis saat itu. Saya melontarkan permohonan maaf berkali-kali. Merasakan kedekatan yang amat sangat. Dan, saat itu saya merasa tidak ada lagi yang saya sayangi sebesar saya menyayangi Ibu saya. Ibu saya pun menangis terharu sambil memeluk saya.

Kasih Ibu sepanjang masa. Bahkan itu yang dilakukan oleh Ibu saya dengan segala sifatnya. Ibu saya rela melahirkan saya sampai hampir meninggal karena kekurangan darah. Ibu saya (yang sedang hamil besar) dengan ikhlas mengantar dan menjemput sekolah dengan berjalan kaki saat saya masih TK. Ibu saya selalu rela memilih lauk kerupuk jika hanya ada satu potong ayam tersisa di meja makan. Ibu saya yang rela menahan lapar di kamar hotel karena memberikan tiket free breakfast-nya kepada saya. Ibu saya yang selalu mencuci dan menyetrika baju-baju sekeluarga. Ibu saya dengan ikhlas mencuci piring-piring kotor yang menggunung di wastafel.

Saya sangat menyayangi Ibu saya, apapun yang terjadi. Biarpun bajunya norak. Biarpun ngomongnya belepotan. Biarpun suka ghibahin tetangga. Biarpun suka pelit. Biarpun tidak pintar. Apapun keburukan Ibu saya, saya akan tetap menyayanginya. Bagi saya, dia adalah surga di mana saya harus tetap menghormati dan menyayanginya sepenuh hati.

Hari ini bukan hari ulangtahunnya. Bukan pula hari Ibu. Apalagi hari valentine. Tapi saya khusus membuat tulisan ini untuk Ibu saya, MAMAH. Makasih, mah! Makasih telah menjadi Ibuku. Makasih telah melahirkan aku. Makasih untuk terus mendoakan aku. Mamah ga akan baca ini karena mamah gaptek, tapi justru itu aku jadi pede menulis ini untuk mamah ❤

I LOVE YOU, MAMAH!



2 komentar

  1. Bersyukur banget bisa ada dan bersama keluarga (ayah & mama) hingga saat ini, bahkan sampai dihari pernikahan pun keduanya masih ada dan lengkap. Semoga dihari pernikahan ku juga mama & ayah juga masih ada dan bisa melihat anaknya memulai kehidupannya sendiri dengan keluar kecil baru bersama orang lain yang ia cintai selamanya. Amin,..

    ReplyDelete
    Replies
    1. aamiin. semoga kita bisa terus berbakti sama mereka sampe ujung usia ya :)

      Delete