Halo, selamat pagi hari yang cerah! Pagi ini saya sudah duduk manis di sebuah ruangan dengan pintu terbuka, membiarkan seberkas sinar matahari pagi masuk ke dalam ruangan. Almost perfect. Rasanya enak sekali kalo sudah begini, nangkring di kursi sambil surfing ke dunia internet ditemani cahaya pagi yang cerah dan secangkir cokelat panas. Senang sekali rasanya kalau tiap pagi bisa begini. ugh!
Okey, kali ini saya ingin berbicara sedikit tentang wanita dan keterkaitannya dengan dapur. Karena baru saja saya membuka salah satu blog yang saya follow, yang isinya hanya tentang resep masakan saja. Nggak tau kenapa dulu saya follow blog ini, tapi saya sangat tertarik dengan caranya menulis resep, caranya menampilkan gambar, bikin ngiler. Dan (ini yang penting) dia tidak asal copy paste gambar dan isinya. Dia menulis apa yang dia masak, walaupun dia mendapat resepnya dari orang lain. Dia foto sendiri hasil masakannya daaan it really really looks delicious!
websitenya: http://ummufatima-mysimplykitchen.blogspot.com
tuh kan pizza-nya keliatan yummy bingiiit! *drooling*
Pemiliknya bernama Citra Dewi. Dia warga Indonesia yang tinggal di
Jepang. Nggak tau deh disana kerja atau cuma ngikut suami. Dan dia suka
sekali masak, bereksperimen di dapur mencoba-coba resep dari yang
gampang sampai yang sulit-sulit. Saya suka sekali sama blognya, melihat sense of art
dari gambar-gambarnya, melihat gimana lihainya dia dalam memasak
(keliatan dari cara dia nulis blognya). Dan lucunya, (padahal nggak ada
fotonya) saya melihat bahwa Citra Dewi ini cantik. Jelas sekali dia
nggak memajang fotonya di blog. Tapi saya melihat kecantikan dia dari
resep-resep yang udah dia coba, yang dia tuang dalam blognya. Jadi,
ternyata kecantikan wanita itu bisa diukur dari masakan-masakan yang
telah dia buat. Berarti ada persentase 'jago masak' dalam kadar
kecantikan seorang wanita.
Anyway, gara-gara blog ini juga saya jadi merenungkan satu hal yang (sebenarnya) penting untuk saya sebagai perempuan. Selama ini, saya selalu bertekad untuk menjadi wanita karir. Papa saya mendoktrin saya dan saudara-saudara untuk tetap bekerja meskipun sudah berkeluarga. Dan kebetulan pemikiran saya juga sama, bertekad menjadi wanita yang mandiri. Saya nggak bisa membayangkan jika saya hanya berdiam diri di rumah menunggu suami pulang ke rumah, membunuh waktu dengan mengerjakan pekerjaan rumah dan memasak. Saya tidak pernah membayangkan hal itu. Saya selalu membuang jauh-jauh pikiran tentang itu. Namun kenyataannya, antara wanita dan (terutama) dapur memang tidak bisa terpisahkan. Ada satu ikatan yang sekeras apapun dilupakan, wanita memang sudah kodratnya mengurus rumah dan bereksperimen di dapur.
Sekeras apapun usaha saya untuk melupakan bahwa saya nantinya juga akan menjadi seorang ibu rumah tangga, pada akhirnya saya menyerah juga.
Wanita karir, sesibuk apapun, se-workaholic apapun, tetaplah seorang wanita. Kartini, sekeras-kerasnya meneriakkan emansipasi wanita, dia tetaplah seorang wanita, seorang istri. Wanita karir harus menyempatkan dirinya untuk berada di rumah, berada di dapur. Harus bisa mengurus rumah, harus bisa memasak. Harus bisa menyamankan dan membuat betah anggota keluarganya untuk tetap berkumpul bersama. Itu tugas wanita. Naluri seorang wanita tetap bersinkronisasi dengan asalnya, yaitu dapur. Selama ini, entah bagaimana saya selalu tertarik melihat peralatan dapur. Saat di supermarket, saya selalu mampir melihat peralatan dapur. Berlama-lama disana sambil berfikir, bahwa tidak hanya blocknote dan pulpen yang seharusnya saya pegang. Tidak hanya smartphone dan laptop yang seharusnya saya gunakan. Peralatan dapur pun tidak kalah penting untuk dipakai, bahkan itu merupakan atribut utama yang bisa mengantar saya memenuhi kodrat sebagai wanita, yang menjadi salah satu tiket yang bisa mengantarkan saya ke surga kelak. Amin.
Pernah suatu waktu saya whatsapp-an dengan teman saya, Fatimah. Dia bercerita bagaimana 'serunya' bereksperimen di dapur setelah menikah. Dia berkata, "saat kamu belum menikah, maka belajar memasak selamanya hanya akan menjadi wacana. Saat kamu telah menikah, maka mau tidak mau kamu harus belajar memasak untuk keluarga barumu."
Brr!
Karena target menikah saya yang masih beberapa tahun lagi (yaiyalaaaa~ lulus kuliah aja belom, calon aja belum ada )
Jadi, haruskah saya menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa memasak?
Saat ini saya berfikir. Bukankah saya tidak harus menikah dulu untuk belajar memasak? Bukankah semua itu bisa terjadi jika ada kemauan? Ya, saya akui selama ini niat memasak saya memang cukup besar. Dan yang lebih saya akui lagi, niat itu hanya sebatas niat. Walaupun sering membantu mama saya memasak di dapur, walaupun saya bisa membedakan nama-nama bumbu dapur, walaupun saya bisa mengira-ngira takaran bumbu untuk memasak, tetapi niat untuk belajar memasak hanyalah sebatas wacana. No action.
Saya sempat beberapa kali bereksperimen di dapur. Kadang sendirian, kadang bareng kakak. Biasanya bereksperimen di dapur kalo lagi ditinggal mama ke Jakarta. Tiap mama pergi, kami pasti berusaha masak sendiri (and mostly failed huhuhu ). Kadang keasinan, kadang kurang mantap, yah namanya juga belajar. Berusaha menggunakan logika dalam menakar komposisi bumbu biar lebih enak. Dan menakjubkannya, tiap masakan saya berhasil, saya bahagianya setengah mati. Seperti ada pencapaian tertentu, rasa senengnya ngalah-ngalahin ketika dapet nilai A dari dosen killer. serius! Saya juga nggak pernah menyesali kalau masakan saya gagal. Nggak papa, namanya juga proses. Tapi cemennya, saya cuma belajar masak pas mama lagi pergi aja. kalo mama udah pulang, udah deh. Nggak pernah ada niat belajar. Paling banter cuma bantuin mama masak, kupas-iris-uleg-kupas-iris-uleg, lainnya mama yang handle. huh!
Saya mencoba menarik kesimpulan dari hubungan wanita dan dapur. Hubungan wanita karir dengan dapur.
Wanita berhak untuk bekerja. Wanita berhak untuk memiliki karir yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Namun, wanita bertanggung jawab untuk mengutamakan 'rumah dan dapur' sebagai prioritas hidupnya. Sesibuk-sibuknya wanita, dia tetap harus berkewajiban memasak untuk keluarganya. Tetap harus bereksperimen di dapur demi kenyamanan dan keakraban keluarga. Karena kenyamanan dan kehangatan dalam keluarga merupakan tanggung jawab wanita.
Jadi, sejak kapan mau mulai belajar memasak?
Sekeras apapun usaha saya untuk melupakan bahwa saya nantinya juga akan menjadi seorang ibu rumah tangga, pada akhirnya saya menyerah juga.
Wanita karir, sesibuk apapun, se-workaholic apapun, tetaplah seorang wanita. Kartini, sekeras-kerasnya meneriakkan emansipasi wanita, dia tetaplah seorang wanita, seorang istri. Wanita karir harus menyempatkan dirinya untuk berada di rumah, berada di dapur. Harus bisa mengurus rumah, harus bisa memasak. Harus bisa menyamankan dan membuat betah anggota keluarganya untuk tetap berkumpul bersama. Itu tugas wanita. Naluri seorang wanita tetap bersinkronisasi dengan asalnya, yaitu dapur. Selama ini, entah bagaimana saya selalu tertarik melihat peralatan dapur. Saat di supermarket, saya selalu mampir melihat peralatan dapur. Berlama-lama disana sambil berfikir, bahwa tidak hanya blocknote dan pulpen yang seharusnya saya pegang. Tidak hanya smartphone dan laptop yang seharusnya saya gunakan. Peralatan dapur pun tidak kalah penting untuk dipakai, bahkan itu merupakan atribut utama yang bisa mengantar saya memenuhi kodrat sebagai wanita, yang menjadi salah satu tiket yang bisa mengantarkan saya ke surga kelak. Amin.
Pernah suatu waktu saya whatsapp-an dengan teman saya, Fatimah. Dia bercerita bagaimana 'serunya' bereksperimen di dapur setelah menikah. Dia berkata, "saat kamu belum menikah, maka belajar memasak selamanya hanya akan menjadi wacana. Saat kamu telah menikah, maka mau tidak mau kamu harus belajar memasak untuk keluarga barumu."
Brr!
Karena target menikah saya yang masih beberapa tahun lagi (yaiyalaaaa~ lulus kuliah aja belom, calon aja belum ada )
Jadi, haruskah saya menunggu beberapa tahun lagi untuk bisa memasak?
Saat ini saya berfikir. Bukankah saya tidak harus menikah dulu untuk belajar memasak? Bukankah semua itu bisa terjadi jika ada kemauan? Ya, saya akui selama ini niat memasak saya memang cukup besar. Dan yang lebih saya akui lagi, niat itu hanya sebatas niat. Walaupun sering membantu mama saya memasak di dapur, walaupun saya bisa membedakan nama-nama bumbu dapur, walaupun saya bisa mengira-ngira takaran bumbu untuk memasak, tetapi niat untuk belajar memasak hanyalah sebatas wacana. No action.
Saya sempat beberapa kali bereksperimen di dapur. Kadang sendirian, kadang bareng kakak. Biasanya bereksperimen di dapur kalo lagi ditinggal mama ke Jakarta. Tiap mama pergi, kami pasti berusaha masak sendiri (and mostly failed huhuhu ). Kadang keasinan, kadang kurang mantap, yah namanya juga belajar. Berusaha menggunakan logika dalam menakar komposisi bumbu biar lebih enak. Dan menakjubkannya, tiap masakan saya berhasil, saya bahagianya setengah mati. Seperti ada pencapaian tertentu, rasa senengnya ngalah-ngalahin ketika dapet nilai A dari dosen killer. serius! Saya juga nggak pernah menyesali kalau masakan saya gagal. Nggak papa, namanya juga proses. Tapi cemennya, saya cuma belajar masak pas mama lagi pergi aja. kalo mama udah pulang, udah deh. Nggak pernah ada niat belajar. Paling banter cuma bantuin mama masak, kupas-iris-uleg-kupas-iris-uleg, lainnya mama yang handle. huh!
Saya mencoba menarik kesimpulan dari hubungan wanita dan dapur. Hubungan wanita karir dengan dapur.
Wanita berhak untuk bekerja. Wanita berhak untuk memiliki karir yang tidak kalah dengan kaum laki-laki. Namun, wanita bertanggung jawab untuk mengutamakan 'rumah dan dapur' sebagai prioritas hidupnya. Sesibuk-sibuknya wanita, dia tetap harus berkewajiban memasak untuk keluarganya. Tetap harus bereksperimen di dapur demi kenyamanan dan keakraban keluarga. Karena kenyamanan dan kehangatan dalam keluarga merupakan tanggung jawab wanita.
Jadi, sejak kapan mau mulai belajar memasak?
1 komentar
Great article. I'm experiencing many of these issues as well..
ReplyDeletemy homepage: Boyfriend Guide