2 April, 22 Tahun Yang Lalu..

Hari ini, 2 April 2021, tepat jatuh di hari Jumat. Sama persis dengan tanggal 2 April 1999 yang juga jatuh di hari Jumat.



Saat itu, 22 tahun yang lalu. Saya masih belum genap 7 tahun. Masih belum mengerti lika liku dunia. Masih belum paham apa rasanya kehilangan. Masih merasakan kebahagiaan karena banyak sekali sepupu-sepupu yang sebaya, sepermainan, dan kami begitu erat bermain bersama. Memiliki keluarga besar yang rasanya begitu dekat sekali.

Hari itu, 2 April 1999. Pukul 10.00 pagi. Keluarga dari garis Mama ingin berangkat ke Bekasi. Entah apa yang mau dilakukan di Bekasi, saya agak lupa. Sepertinya sih, menghadiri pernikahan saudara jauh. Perwakilannya adalah Eyang Putri, Pakde B, Bude R beserta 2 anaknya, Tante T, dan Om Y (FYI, Pakde Bude dan Om Tante ini bukan suami istri ya, tapi kakak beradik semua). Kami sekeluarga besar melepas kepergian mereka dengan suka cita. Bercanda tawa. Sebelum berangkat, saya masih bermain kartu kuartet bersama Mbak Dea, salah satu sepupu yang merupakan anak bude saya yang ikut berangkat ke Bekasi. Tante masih menjanjikan saya oleh-oleh berupa snack tini wini biti yang menjadi favorit saya saat itu. Saya masih ingat betul senyum tante di pinggir kolam ikan, menoleh dan berjanji untuk belikan tini wini biti.

Masih di 2 April 1999. Dini hari. Saya tertidur pulas. Saat itu, saya dan keluarga masih tinggal di rumah Eyang karena rumah Papa belum selesai dibangun. Tiba-tiba, entah bagaimana, saya terbangun dan mendapati kamar saya kosong. Mama dan Papa nggak ada di kamar. Nggak kosong ding, masih ada adik saya yang tertidur pulas. Saya beranjak keluar kamar dan kaget sekali melihat ruang tamu sudah bergelarkan tikar, dan banyak sekali tetangga-tetangga yang duduk di sana. Saya segera menuju ke kamar tante. Rupanya Mama sedang di sana. Berkumpul dengan Tante Y, Bude M, dan Om M. Berurai air mata bahkan histeris karena kehilangan. 

Rupanya, di malam itu, ada telepon dari kantor polisi untuk sepupu saya yang menjadi TNI. Kartu namanya ada di dalam dompet Om Y. Hanya itu satu-satunya kontak yang bisa dihubungi pihak kepolisian untuk mengabarkan bahwa mobil yang dikendarai keluarga kami kecelakaan di Jalan Tol Cikampek. Ban mobil pecah sehingga mobil oleng ke arah kanan hingga melesak ke jalur lawan. Dan.... ada bus yang tentu aja melaju kencang, wong di jalan tol. Dua sepupu saya kritis parah, sedangkan sisanya meninggal dunia di tempat.

Apa rasanya kehilangan LIMA anggota keluarga sekaligus dalam satu malam? Di saat paginya masih bercanda tawa, melepas kepergian dengan penuh suka cita tanpa tau bahwa itu adalah saat terakhir bersama?

Mbak Dea menyusul meninggal di pagi harinya. Mas D, kakak Mbak Dea, langsung dirujuk ke Rumah Sakit yang lebih baik, karena kondisinya juga sangat kritis. Beruntung akhirnya Mas D dapat selamat dan pulang ke rumah sebulan kemudian, lalu masih hidup sehat sampai hari ini. (FYI, Mas D sekarang sudah menikah dan anaknya dinamai Dea, seperti nama almarhumah tantenya).

Enam orang keluarga kami meninggal di awal April 1999. Menyisakan duka dan air mata bagi kami yang ditinggalkan. Belum genap 1 tahun saya pindah ke Jogjakarta, dan hidup berbahagia dengan keluarga Mama yang begitu banyak dan kompak. Dalam satu malam, Mama kehilangan seorang Ibu dan 4 orang saudara kandung, berikut dengan 1 keponakan. Dalam satu malam, mama kehilangan separuh keluarganya. Entah bagaimana rasanya.

Saya belum memahami bahwa meninggal dunia berarti tidak akan kembali lagi di sini. Saya, biarpun sedih, masih dengan imajinasi bahwa suatu saat mereka akan kembali.  Saya masih sering bermimpi bahwa mereka hanya diculik ke suatu tempat dan tidak bisa pulang. Saya hanya beranggapan bahwa ini adalah trik sulap. Sampai akhirnya saya beranjak dewasa dan tersadar, bahwa ini bukan trik sulap. Mereka sudah terkubur dan menyatu dengan tanah. Jasad dan jiwanya tak akan pulang lagi ke rumah.

Setelah itu, semua berbeda. Lebaran tak lagi seceria dulu. Piknik keluarga menjadi jarang dilakukan. Kami semua berduka. Kami semua kehilangan. Banyak hal-hal yang kemudian harus disesuaikan terkait kepergian mereka. Saudara-saudara yang tinggal di luar kota pun jadi jarang pulang. Sejujurnya, momen 40 hari, 100 hari, dan 1000 hari peringatan mereka yang meninggal dunia itu menjadi momen membahagiakan bagi saya, karena_selain lebaran_ hanya saat itulah kami semua bisa bertemu dan bercengkrama. Semua orang sibuk menyembuhkan luka hatinya. Pada akhirnya saya pun juga begitu, sembari tumbuh dewasa, saya berusaha hidup berdamai untuk menerima bahwa mereka tak lagi pulang. Begitu juga Mama dan Tante Y yang bersusah payah menerima bahwa Ibu dan saudara-saudara kandung mereka tersebut tak akan kembali untuk selamanya. Bergelut dengan doa dan air mata untuk menerima segala yang terjadi.

Waktu memang begitu hebat. Tidak terasa sudah lebih dari 20 tahun setelah kejadian itu. Luka dan air mata sudah lama mengering. Namun doa masih terus terpanjat. Betapa hebatnya kuasa Tuhan dalam menyembuhkan segala keperihan dan sesak di dada ketika orang-orang yang dicintai telah tiada. Rasa kehilangan masih terasa, bahkan kadang kami menangis bersama saat mengenang hal-hal indah bersama mereka. Tapi, hati kami sudah legowo. Yang kami inginkan hanyalah mereka dapat tempat yang terbaik di sisi Tuhan.

Hati saya bergetar menuliskan semua ini. Hari terakhir sebelum petaka masih jelas terbaca di ruang ingatan saya. Hingga hari ini. Rasa rindu akan selalu ada. Doa akan selalu terbaca. Rasa sayang tak akan pernah pudar. Kalian semua akan selalu di hati. Hidup berdampingan menghadapi yang selanjutnya tiba, meskipun alamnya sudah berbeda.





0 komentar