It was just a dream

Kamu mau nggak jadi pacar aku?

Aku sungguhan kaget. Dia menanyakan itu di saat kami sedang menempuh perjalanan yang cukup melelahkan. Aku terdiam cukup lama untuk memastikan bahwa dia tidak bercanda. Aku menelusuri bola matanya untuk mencari kesungguhan di sana. Aku menghela nafas, tak menemukan apapun selain matanya yang kecoklatan menatap tajam mataku.

Iya, aku mau jadi pacar kamu.

Akhirnya ku iyakan pertanyaannya. Dia tersenyum dan menggandeng tanganku. Kami melanjutkan perjalanan, menyusul ketinggalan kami di antara teman-teman lain yang sudah lebih jauh.

Aku tak yakin apakah jawabanku benar. Namun setauku, pertanyaan itu tidak mencari benar atau salah. Dan bukankah dia yang selama ini ku tunggu? Bukankah dia yang selama ini aku harapkan?

Pada akhirnya kami semua sampai ke tujuan. Kami begitu gembira karena perjalanan panjang tersebut akhirnya berakhir indah. Kami semua bersorak gembira. Dia pun ikut bersorak bersama kami. Tanpa ku duga, dia mengangkat tubuhku dan melayangkanku ke udara. Aku tertegun. Namun dia seperti bebas melakukannya. Seketika jantungku berdegup kencang, menyadari bahwa status kami sudah berbeda di tengah perjalanan tadi. Aku tersenyum, bahagia mendapati dia kini menjadi milikku. Dia pun ikut tersenyum dan mengecupku spontan.

Perjalanan kami telah berakhir. Kami beristirahat sejenak sebelum berpisah. Aku duduk di suatu sudut, menatap senja. Seorang teman datang padaku, menanyakan hal yang sama seperti apa yang dia tanyakan tadi. Aku terpana. Teman tersebut sudah seperti seorang kakak untukku. Aku menyayanginya, namun hanya sebatas itu saja. Kami duduk berdua menatap senja. Namun ada yang salah. Tak seharusnya aku duduk berdua di sini. Seharusnya aku duduk bersamanya, bukan bersama sang teman.

Kecurigaanku terbukti. Dia menatapku bersama sang teman. Matanya basah, mengisyaratkan hatinya yang sakit. Aku tau aku bersalah. Namun aku juga tau pasti, cintaku yang sesungguhnya hanya untuk dia sepenuhnya. Aku mengejarnya. Kami duduk berdua di sudut yang lain. Menatap senja yang masih kemerahan. Wajahku ikut basah, namun bukan karena air mataku. Gerimis mulai menyapa, matahari sudah tenggelam. Dalam hujan dia berkata, aku rela kamu dimiliki orang lain. Aku membisu. Bukan itu yang aku inginkan. Aku tetap ingin bersamamu, demikian jawabku. Dia menoleh, memandang mataku. Entah apa yang dia cari di sana. Aku amat menyukai matanya yang cemerlang dan kecoklatan. Namun, mata itu redup untuk saat ini. Akulah penyebabnya.

Aku tetap sayang kamu. Begitu katanya di antara suara hujan. Aku tersenyum mendengarnya. Dia memelukku, erat sekali. Hari sudah mulai gelap. Merah senja sudah mulai pudar. Gerimis sudah mulai berhenti. Namun matanya yang bercahaya masih memandang mataku. Dalam. Aku tak peduli dengan badanku yang sudah mulai menggigil. Momen ini terlalu indah untuk dilewatkan.

Dan dia menatapku semakin dalam.



Dan kemudian, aku terbangun.
Ternyata semua itu hanya mimpi.

0 komentar