Nostalgia Bareng Film Dilan

Kemarin saya menonton film Dilan di televisi. Kebetulan sekali, karena sebenarnya saya jarang menonton TV. Hari itu, saya menemani adik saya membuat bahan ajar, sekaligus menonton film Dilan, yang juga kebetulan sedang diputar di TV. Dua film sekaligus di hari yang sama. Membuat saya bertahan beberapa jam di depan TV untuk menyelesaikan film tersebut.

pict source

Jujur, saya bukan penggemar Dilan dan Milea. Memang, sih, saya membaca semua novelnya dan menonton semua filmnya saat itu. Tapi, saya nggak termasuk di antara orang-orang yang nge-ship-in mereka. Saya nggak melihat bahwa Dilan dan Milea itu cocok untuk bersama. Milea yang terlalu egois parah, dikit-dikit ngadu ke Bundanya Dilan, gegabah, wah udah deh pokoknya saya nggak suka sama Milea. Maaf, ya, fansnya Milea! No offense, I just don't like that character. Lalu, saya bagi saya, candaan dan gombalan Dilan rada garing. Saya nggak tau, apakah itu memang guyonan yang wajar dan lucu saat di tahun segitu atau gimana, tapi bagi saya itu garing. Tapi, untuk karakter Dilan-nya itu sendiri, sih, saya suka-suka aja. Tipikal anak bandel tapi tetep patuh sama orangtua. So, yeah, saya bukan termasuk penggemar tokoh Dilan dan Milea.

Tapi saya bertahan menonton filmnya. Bagi saya, terlepas dari karakter Milea yang ngeselin dan jokes Dilan yang garing, inti cerita Dilan ini cukup bagus. Mereka cukup menyuguhkan cerita cinta sederhana, tentang masa cinta anak sekolah yang lumayan membuat tersipu. Dikemas dengan rasa yang cukup menggetarkan hati, dengan konflik yang tidak terlalu memusingkan, sehingga masih ringan dan menyenangkan untuk diikuti. Visualisasi yang bagus dan alur cerita yang runtut, membuat saya menikmati film ini.

Yang paling hebat dari cerita Dilan dan Milea, menurut saya, adalah bahwa cerita mereka sanggup membawa saya dalam nostalgia masa remaja. Meskipun latar waktu Dilan dengan masa remaja saya jauh berbeda, namun suasananya kurang lebih sama aja. Toh, itupun juga film nostalgia. Mengingat-ingat kembali masa-masa sekolah, bersama teman-teman, bersama gebetan, bahkan bersama musuh. Bagaimana bahagianya saat didekati gebetan atau sakit hati karena harus putus, lalu terbiaskan dengan aktivitas-aktivitas bersama teman-teman di sekolah yang (kayaknya) nggak akan pernah terlupakan. Film Dilan berhasil membuat saya mengulik lagi masa-masa itu, memutar lagu-lagu nostalgia tahun 2000an, membuka lagi folder-folder foto semasa sekolah, membuka lagi buku harian yang penuh dengan curahan hati masa remaja, dan mengingat lagi kenangan indah saat itu. Hiks, jadi sedih, ya?

Setiap cewek pasti punya Dilan versinya sendiri. Begitupun para cowok yang mungkin punya Milea versinya sendiri. Cinta sederhana yang begitu dalam, namun akhirnya nggak pernah berakhir di pelaminan. Mungkin cukup menyakitkan, namun ketika belasan (atau bahkan puluhan) tahun berlalu, hal itu hanya akan menjadi kenangan di sudut pikiran. Banyak yang menyesali, namun banyak pula yang mengambil hikmah dari perjalanan yang tak berakhir bersama itu. Dari film Dilan dan Milea, kita belajar bahwa tidak semua kisah cinta yang menggebu-gebu dan begitu dalam akhirnya bisa berakhir bahagia. Pola pikir dan visi misi yang berbeda tentu bisa menghancurkan semuanya. Cerita cinta anak sekolah adalah cerita yang paling membahagiakan dalam seluruh fase kehidupan, setidaknya sepanjang saya hidup. Namun, seperti Dilan, hidup harus tetap berjalan ke depan. Buka lembaran baru, kehidupan baru, dan cinta baru yang mungkin akan memberikan sesuatu yang lebih indah dan realistis dari sekedar memberatkan rindu.

Dan, dari Milea kita belajar untuk jangan gegabah bilang putus. Udah putus baru nyesel, kan? Dilan-nya udah keburu kagol, deh.

Hidup terus berjalan.
Kenangan akan terus tinggal.
Kita punya banyak waktu untuk mengenang.
Namun, kita juga butuh banyak waktu untuk terus melangkah ke depan.


Cheers!



0 komentar