Mematahkan Hati Ternyata Menyakitkan

Postingan ini adalah 100% curhat. Saya bener-bener pengen numpahin apa yang ada di pikiran saya saat ini, supaya bisa lega dan moving on. Feel free to not read this if this post makes you feel uncomfortable.




Semalam saya bermimpi tentang seseorang di masa lalu. Mimpi itu nggak terlalu jelas alurnya, namun ketika saya bangun, saya langsung teringat sama dia. Juga teringat apa yang udah saya perbuat ke dia, dahulu kala.

Sudah dua belas tahun yang lalu. Dahulu, saya menyebutnya Child. Seorang cowok yang pernah bersama saya ketika saya masih di bangku SMA. Entah status apa yang melekat pada kami dulu, karena saya nggak pernah mengiyakan maupun menolak. Dan kemudian, tiba-tiba saya meninggalkannya tanpa alasan.

Saya agak lupa apa tepatnya alasan saya meninggalkan dia. Yang saya ingat, dulu circle kami nggak suka dengan hubungan kami. Yang saya ingat, dulu saya sempat naksir sahabatnya (biarpun nggak ada yang tau hal ini termasuk dia). Saya ingat banget, saya mulai menjauh dan dia mulai bertanya kenapa. Saya juga lupa apa yang saya bilang ke dia untuk mengakhiri semuanya. Tapi, saya membuatnya berjanji untuk tetap berteman. Setelahnya, kami masih berteman. Lha wong masih sering pergi bareng (ramean sih), nonton pensi atau dateng ke acara-acara anak muda di zaman segitu. Tapi tentu aja semua udah berubah. Udah canggung. Udah nggak ada tangan yang tergenggam. Udah nggak ada celetukan-celetukan orang yang menggoda kami. Tapi anehnya, saya nggak merasa kehilangan sama sekali. Perasaan saya menguap hilang entah ke mana. Hati saya membatu meskipun dia patah hati. Saya lempeng aja saat dia mengirim SMS ke saya. Saya bodo amat saat dia menyuruh saya melihat acara tv yang memutar lagu patah hati. Saya tetap kekeuh menganggap keadaan baik-baik aja dan tetap menyuruhnya bertingkah seperti biasa. Saya menyuruhnya untuk menamai kebersamaan ini dengan nama "teman".

Lalu saya ingat setelah itu, dia yang patah hati kemudian berubah menjadi sakit hati karena sikap saya. Pada akhirnya, dia nggak lagi mau menyapa saya. Nggak mau kenal lagi sama saya. Bertahun-tahun pun berlalu hingga kami sama-sama dewasa dan punya kehidupan masing-masing. Terakhir, saya bertemu (atau melihat) dia sekitar 5 tahun yang lalu di sebuah acara pernikahan teman kami. Entah masih dendam atau memang nggak lihat saya, yang jelas dia nggak mau melihat saya sama sekali. Padahal salah satu temannya sempat menyebut nama saya saat itu.

Sejak saat itu, saya menyadari bahwa saya sudah (obviously) berbuat salah ke dia. Saya akhirnya sadar betul bahwa apa yang saya perbuat bertahun-tahun lalu benar-benar menyakiti hatinya. Tapi saya masih nggak ada hati untuk meminta maaf. Bahkan saat saya mau menikah, di mana saya menghubungi semua mantan untuk meminta maaf dan meng-clear-kan semuanya, dia nggak masuk dalam list saya. Saya seperti lupa sama sekali dengan perasaan saya yang dulu dengannya. Nggak sedikitpun ingat, padahal namanya pernah ada di buku harian saya. Bahkan menghiasi status fesbuk saya saat itu. Aneh.

Saat saya menikah, kebetulan salah satu vendor saya adalah teman saya, yang juga temannya. Saya sempat tiba-tiba ingat, dan menanyakan kabarnya. Katanya, dia sudah menikah dan punya anak. Tapi, saat itu saya masih lempeng aja dan nggak peduli. Huft, dasar hati batu!

Hingga semalam, Tuhan menyentil saya lewat mimpi. Mungkin hanya bunga tidur. Atau mungkin Tuhan memang ingin mengingatkan dosa saya ke dia. Dosa besar saya ke dia. Tuhan ingin menitipkan rasa yang pernah Child rasakan dulu lewat mimpi.

Yassh! Dan Tuhan berhasil. Begitu saya bangun, hati saya sakit. Bahkan sampai detik ini. Hati saya sakit membayangkan apa yang udah saya lakukan pada Child. Jahat banget! Nggak nerima cintanya, tapi masih mau diajakin pergi-pergi bareng. Masih mau membalas SMSnya. Memberikan harapan lalu setelah itu meninggalkan dengan tiba-tiba tanpa alasan. Meninggalkannya dengan sejuta tanya yang nggak pernah terjawab sampai hari ini. Meninggalkan hatinya yang saya patahkan karena keegoisan saya di masa muda. Meninggalkannya duduk sendiri memikirkan kesalahan apa yang dia lakukan hingga saya pergi darinya.

Enggak, Child. Kamu enggak salah. Hanya saya aja yang labil lalu merugikan kamu. Bikin kamu merasakan sebuah rasa yang nggak seharusnya kamu rasain.

Seketika, rasa sakit yang (mungkin) dia rasakan tiba-tiba ada di hati saya. Melebur jadi satu dengan perasaan menyesal. Saya memutar lagu yang dulu dia putar saat patah hati. Saya menyerap makna yang berusaha dia tunjukkan lewat lagu itu (ya ampuun kemane ajee lu!). Saya berusaha memposisikan diri saya sebagai dia.

Dan, hati saya sakit. Jadi dobel sakitnya karena ditambah rasa bersalah dan menyesal. Pantas aja dia menjauh. Pantas aja dia nggak mau lihat saya lagi. Bagi dia, mungkin saya adalah mantan yang menyakitkan buat diingat.

Oke. Balik lagi ke masa sekarang.

Hati saya udah bergaung untuk meminta maaf. Maaf yang sangat terlambat. Udah basi. Udah nggak penting buat dia. Buat apa dikulik-kulik lagi? Saya nggak kebayang, apa yang akan dia jawab saat saya meminta maaf. Bisa jadi dia jawab: ah basi! ah udah lama banget, gue udah lupa! ya ampun, nggak penting banget sih lo! kemane ajee lo? Hari gini baru minta maaf? dah berapa lama ini woy?
Ugh! Baru bayangin aja udah bergidik. Rasa sakit makin kerasa karena rasa bersalah saya nggak juga reda. Belum lagi penyesalan-penyesalan yang pengen saya putar waktu kembali untuk memperbaiki.

Bukan. Saya nggak nyesel karena nggak bisa balikan atau apa. Jangan disalah artikan ya. Saya sudah nggak ada perasaan apapun ke Child. Murni karena saya merasa bersalah dengan dia. Saya menyesal kenapa dulu ngegantungin dia dan mengakhiri dengan buruk. Bahkan nggak meminta maaf ke dia. Boro-boro minta maaf, ngerasa salah aja enggak.

Sakit karena mematahkan hati ternyata nggak enak. Apa yang saya tanam belasan tahun lalu ternyata berbuah pahit. Dikasih mimpi yang ujungnya cuma bikin kepikiran dosa saya di masa lalu. Meminta maaf pun juga udah nggak bisa karena dia udah punya kehidupan sendiri. Kalo saya meminta maaf, bisa jadi malah ada kesalahpahaman di dalam keluarganya yang bikin masalah baru di hidup dia. Bukannya dimaafin, malah tambah sebel ntar ke saya. 

Dan, baru saya sadari sekarang bahwa seharusnya dari dulu saya berbuat baik sama semua orang. Bahkan, untuk mengakhiri hubungan pun, harus dengan cara yang baik. Meminta maaf lah selagi bisa. Karena jika udah seperti ini... yaa sudah. Saya hanya banyak-banyak berdoa semoga rasa benci atau marah yang mungkin masih ada dalam hati Child saat mengingat saya bisa luntur. 

Tapi, saya masih berharap ada masa di mana saya bisa minta maaf ke dia, baik secara langsung maupun lewat media. Saya berharap, masih ada satu keikhlasan di hatinya untuk memaafkan saya. Karena, katanya, dosa ke sesama manusia baru bisa diampuni ketika kita sudah meminta maaf dengan tulus kepada orang tersebut.

Saya nggak berharap untuk bisa temenan lagi sama dia, karena circle kami juga sudah berbeda. Bagi saya, dia bisa memafkan saya dengan hati ikhlas dan lapang dada itu udah cukup buat saya.

Hi Child!
Kamu nggak akan pernah baca ini.
Tapi, aku berharap bisa bilang ini ke kamu.
Dari lubuk hatiku, aku pengen meminta maaf yang sedalam-dalamnya atas apa yang udah aku lakukan ke kamu.
Aku, dengan segala kerendahan hati, memohon keikhlasan dan kelapanganmu untuk mau memaafkan aku.
Semua udah belasan tahun berlalu.
Kamu udah lupa mungkin..
Aku nggak berharap kamu ingat, tapi aku hanya pengen memohon maaf atas goresan luka yang pernah aku buat di hati kamu.
Semoga kamu bisa berlapang dada untuk memberikan maaf kamu ke aku..
Hope you always be happy with your life..

Sincerely,


0 komentar