Pengalaman Terinfeksi Virus Covid19 / Virus Corona

Sekitar 3 bulan yang lalu, saya terdiagnosa covid-19/virus corona. Postingan kali ini akan sangat panjang sekali karena akan menceritakan pengalaman saya mulai dari tertular virus, gejala yang muncul, pengalaman saya selama ada di shelter, juga kondisi tubuh setelah covid.

Di pertengahan Juni 2021, saya pergi ke kantor setelah 2 minggu penuh tidak ke sana. Kebetulan kantor saya memberlakukan full WFH bagi mayoritas karyawannya sejak pandemi dimulai, jadi saya hanya cukup 1-2minggu sekali ke kantor untuk pekerjaan yang unremoted. Nah, beberapa hari setelah ke kantor, saya terbangun dengan tenggorokan yang terasa ganjal. Saya berfikir bahwa itu hanya rasa ganjal biasa, yang akan hilang jika saya minum Imboost seperti biasa. Lalu saya pun bersiap ke kantor untuk ketemu atasan saya. Sampai di kantor, nggak banyak orang yang ada di situ. Tumben, padahal biasanya divisi IT dan OA selalu stand by. Oke lanjut kerja seperti biasa sambil ngobrolin sesuatu sama atasan sampe tiba-tiba manajer IT kasih tau kalo salah satu anak IT (sebut aja mas D) demam dari hari Rabu (sehari setelah saya masuk beberapa hari lalu) dan ngabarin kalo hari itu dia mulai nggak bisa ngerasain makanan. Juga ada lagi satu anak IT lainnya (sebut aja si A) yang mulai demam di hari ini.

PANIK. Itu hal pertama yang saya rasakan karena hari itu saya masih merasakan tenggorokan saya mengganjal. Lalu saya bilang ke atasan saya bahwa saya juga ngantor di hari mas D ngantor dan saya takut mas D kena covid lalu menular ke saya karena saya sempat ngobrol dengan mas D hari itu. Kemudian saya pamit pulang saat itu juga. Malamnya saya pusing dan agak demam. Tenggorokan sudah mulai sakit dan batuk. Saya sangat takut terinfeksi karena beresiko menularkan orang-orang serumah. Apalagi saya masih tinggal bareng mama, papa, dan 2 saudara saya. Malam itu, saya minum paracetamol dan mencoba untuk tidur. Kekhawatiran saya di malam itu berlanjut karena panas saya tidak juga turun setelah minum paracetamol, padahal biasanya langsung turun dan segar keesokan harinya.

Karena panas tidak juga turun, akhirnya saya ke dokter keesokan paginya. Dokter bilang saya kecapekan. Lalu diberi obat demam dan obat batuk. Semakin khawatir, akhirnya saya menghubungi mas D dan si A. Mereka bilang bahwa mereka sudah nggak sakit dan sudah sembuh. Mas D bilang bahwa indra perasanya nggak hilang dan sepertinya hanya masuk angin karena kehujanan. Si A juga bilang bahwa dia kehujanan. Hati saya sudah lebih tenang, meskipun mas D bilang dia akan swab di hari Minggu.

Tapi hari itu lidah saya mulai terasa pahit dan nggak doyan makan. Lalu panas saya meninggi di malam harinya. Saya nggak bisa tidur meskipun obat demam sudah diminum. Batuk juga semakin menjadi. Akhirnya, saya memutuskan jika besok siang masih demam, maka saya akan swab. Malam itu juga saya mulai tidak keluar kamar sama sekali.

Hari Minggu pagi, mas D mengabarkan kalo dia positif covid. Rasanya seperti mau pingsan dengar kabar itu, seperti denger vonis untuk diri sendiri. Tanpa buang waktu, saya langsung ke rumah sakit untuk swab di pagi itu juga. Qadarullah, ternyata saya positif covid juga. Meskipun hati rasanya sedih sekali, tapi saya berusaha untuk menerima keadaan dengan lapang dada. Saya langsung ngabarin orang-orang yang ketemu saya dari hari Selasa (dengan asumsi saya tertular di kantor, karena ternyata di hari Selasa itu mas D sudah mulai sakit tenggorokan) untuk mengisolasi diri dan segera swab jika ada gejala. Juga mengabarkan ke orang rumah dan lapor puskesmas supaya orang-orang rumah bisa kena tracing-an dan bisa segera diswab.

Alhamdulillah pelayanan rumah sakit cukup baik. Begitu dapat hasil positif covid, saya disuruh ketemu dokter untuk konsultasi. Dokter menanyakan gejala-gejala saya dan meresepkan obat-obatan. Karena saya punya asma, saya pun minta ke dokter untuk dirujuk rontgen thorax buat memastikan apakah paru-paru saya masih cukup baik. Saturasi oksigen dan tensi saya cukup baik, hasil thorax juga cukup baik, sehingga saya diperbolehkan pulang untuk mulai isolasi mandiri di rumah.

Oke, isolasi mandiri pun dimulai.

HARI 1
Sepulang dari rumah sakit, saya langsung mandi dan mengunci diri di kamar. Kebetulan kamar saya di lantai atas, jadi saya tinggal sendiri di atas sementara suami dan kakak saya pindah tidur di bawah. Gejala hari itu adalah masih demam (sudah mulai turun di 37sekian derajat celcius), batuk yang cukup sering, badan sakit semuanya kayak digebukin, dan malamnya mual dan sempat m*ntah. Hari itu juga dipaksakan makan biarpun nggak doyan makan, karena harus minum obat.

HARI 2
Denger kabar bahwa mama saya positif covid. Demam yang udah mulai turun tiba-tiba naik lagi. Badan yang mulai seger juga tiba-tiba drop lagi (padahal udah mulai bisa nyanyi-nyanyi dan becandaan). Belom lagi tiba-tiba dikabarin kalo papa (ternyata) nyariin shelter untuk saya dan akhirnya dapet shelternya. Saya pun harus berangkat ke shelter yang udah dibooking tersebut. Hati saya tiba-tiba sedih dan takut karena ngerasa sendirian dan nggak pengen pisah sama suami (biarpun beda lantai tapi kan masih serumah jadi rasanya masih tenang). Akhirnya saya berangkat ke shelter diantar suami sambil berurai air mata hehehe. Nanti saya ceritain shelternya di bawah ya.
Gejala hari itu adalah demam masih di 37sekian, masih sering batuk, masih mual, dan nggak bisa tidur (karena hari pertama di shelter mungkin terlalu stres jadi asam lambung naik). Badan juga rasanya masih kayak digebukin. Nggak enak banget sumpah semalaman nggak tidur (cuma tidur-tidur ayam). Semalaman itu saya batuk nggak berhenti plus sendawa dan kentut terus-terusan karena asam lambung. Akhirnya dikasih antasida sama Nakes untuk ngilangin mual dan sendawanya.

HARI 3
Hari itu suhunya udah mulai normal biarpun masih pusing. Batuk juga masih sering. Mual masih ada dan masih nggak doyan makan. Lidah pahit tapi lebih toleran sama makanan manis daripada asin. Dan nggak doyan nasi sama sekali. Nafas juga masih panas. Malamnya tidur sambil batuk-batuk (kata temen satu kamar saya). Saya sendiri kebangun jam 3 pagi karena batuk-batuk lalu akhirnya tidur sambil duduk sampe pagi.

HARI 4
Denger kabar kalo temen kantor saya, si A, juga positif covid. Hiks sedih, ternyata kami semua kena klaster kantor karena ada satu lagi temen yang tertular (dan dia tertular di hari yang sama dia divaksin. Kasian kan, udah kena KIPI eh masih ketampar gejala covid pula huhu dobel-dobel deh). Oke hari itu gejalanya suhu sudah normal. Batuk masih sering. Sudah nggak mual karena rajin minum antasida. Masih nggak doyan makan tapi lidah udah nggak terlalu pahit. Malamnya masih tidur sambil duduk karena pasti akan batuk-batuk parah setiap tiduran di kasur.

HARI 5
Suhu normal. Masih batuk tapi batuknya lebih ke kayak ngeluarin dahak (sebelumnya batuk karena tenggorokannya gatal banget). Makan udah mulai doyan dan lidah sudah nggak pahit. Tidur sudah mulai normal biarpun masih suka batuk (tapi batuknya nggak mengganggu tidur). Hari itu, Mama nyusul ke shelter setelah nunggu antrian shelter selama beberapa hari.

HARI 6
Sudah mulai sehat. Suhu normal, nafsu makan normal (well, nggak normal sebenernya karena mulai rakus dan gampang laper). Gejala yang masih ada cuma batuk aja, itupun batuk untuk keluarin dahak. 

HARI 7
Denger kabar kalo suami dan adek saya positif covid. Huft, langsung sedih nangis tapi ya udah lah ya we had to face it guys. Akhirnya suami dan adek diisolasi di rumah, di lantai atas karena kakak saya dan papa sudah confirmed negative covid dari hasil PCR. Tapi Alhamdulillah nggak terlalu stres karena saya sendiri sudah sangat-sangat membaik di hari itu, hanya agak-agak gregesi (mungkin karena drop imunnya karena kabar tadi). Batuk masih betah tapi so far nggak ada gejala aneh-aneh lainnya. I was getting better at that time.

HARI 8 sampai 10
Sehat walafiat. Makan rakus. Masih sedikit batuk.

HARI 11
Sehat walafiat. Masih batuk tapi sangat sedikit (karena dahaknya masih ada). Semua obat dan vitamin udah habis. Dan hari itu diperbolehkan pulang. Horee!


Setelah itu lanjut isolasi mandiri di rumah sampe hari ke 14. Bahagia banget akhirnya bisa pulang ke rumah, biarpun suami masih lumayan demam dan batuk sampe nggak bisa tidur. Suami juga anosmia (well, nggak bisa nyium bau apapun kecuali bau apek yang terus nempel di hidungnya. Kasian banget kan?). Adek saya sudah sehat (dia gejalanya cuma demam 2 hari lalu setelahnya sehat, cuma batuk aja tapi sudah reda saat saya pulang). Mama juga sehat, tinggal sisa batuk aja. Alhamdulillah. The rest days of isoman sangat-sangat menyenangkan karena bisa kumpul berempat sama pasien-pasien covid di rumah hehehe.

Hari ke 15. Saya dan mama pergi ke rumah sakit untuk swab. Dan kami berdua NEGATIF! Alhamdulillah. Kami pun pulang lanjut isoman (karena mama masih hari ke 14). Besoknya, saya dan mama sudah boleh turun ke bawah. Suami dan adek nyusul sekitar 3-5hari kemudian (saya lupa) setelah mereka swab dan hasilnya pun Alhamdulillah NEGATIF.


POST COVID
Di hari ke 14 saya sudah berhenti batuk. Tidak ada batuk sama sekali. Badan juga sehat dan nafas lega. Tapi setelah pulang dari swab, tiba-tiba saya mulai terbatuk lagi biarpun nggak sering. Kalo udah mulai malem, biasanya saya akan batuk dan mengik. Setelah konsultasi ke dokter (kebetulan masih nyimpen nomor dokter pas covid), itu adalah 'peninggalan' covid yang bisa terjadi sama beberapa orang. Nggak terlalu ngerti juga sih, tapi akhirnya tiap mengik, saya selalu hirup obat asma dan selama masih batuk, saya masih minum obat batuk sehari 2x sampe batuknya bener-bener hilang. Setelah covid berakhir, badan juga terasa lebih capek dan nafas terasa lebih pendek. Tapi, setelah 2 bulan lebih, kondisi tubuh jadi jauh lebih baik. Yang penting adalah rajin-rajin olahraga dan makan makanan yang bergizi supaya tubuh kembali sehat seperti sebelum terinfeksi. 

OBAT-OBATAN
Sebelumnya saya mau menginformasikan bahwa semua obat yang saya tulis di bawah ini HARUS DIBELI DENGAN RESEP DOKTER.
Obat yang diberi dari rumah sakit adalah:
Antibiotik, Antivirus, Obat Demam&Panas, Obat Batuk, Obat Asam Lambung (karena saya ada asam lambung), Obat Asma Inhaler (karena saya ada asma), vitamin D3 1000IU, dan Enervon-C.
Lalu ketika di shelter, vitamin D dan Enervon-C disuruh stop dulu lalu diganti dengan vitamin dari shelter: Vitamin C 500mg, Vitamin D3 1000IU (beda merk dengan RS), Zinc, dan Caviplex. Saya juga ada tambahan antasida dan paracetamol karena waktu itu sempat mual dan sendawa nggak berhenti. Paracetamol diberikan karena yang dari rumah sakit udah habis sedangkan saya masih agak demam dan nyeri badan.


SHELTER
Shelter yang saya tempati adalah shelter Padmasuri yang terletak di Krapyak, Sewon Bantul, DI Yogyakarta. Dulunya, ini adalah RS Khusus Bedah Padmasuri. Kalo nggak salah miliknya TNI AD tapi entah ya, cuma denger-denger aja karena saya sejujurnya baru tau kalo ada bekas RSKB Padmasuri. Denger-denger sih udah tutup lama dari bertahun-tahun yang lalu. Setelah pandemi, maka RS ini dialihfungsikan jadi shelter khusus pasien covid gejala ringan.

Saat pertama kali saya sampai di Shelter, ada beberapa satgas yang berjaga di teras shelter. Lalu saya dipersilakan duduk. Nakes yang di dalam ruangan bersiap pakai jubah plastik lalu saya pun ditanya-tanya mengenai covid seperti hari pertama swab, gejala yang dialami, obat-obatan apa aja yang udah dikonsumsi, dan mereka teliti banget sampe ngecekin obatnya satu per satu. Setelah selesai ditanya-tanya, saya disuruh periksa tensi, saturasi oksigen dan suhu tubuh. Semua dilakukan sendiri dengan alat yang tersedia sambil dipantau Nakes. Ke depannya juga diberitahu bahwa tiap pagi dan sore kami wajib cek kesehatan seperti yang tadi saya lakukan, lalu menuliskannya di WA Group lengkap dengan gejala yang masih dirasakan. Ah ya, kami dipantau melalui WA Group. Nakes tidak ada yang visit ke dalam shelter. Mungkin karena kami gejala ringan jadinya mereka nggak visit untuk meminimalisasi penularan. Nakesnya juga bilang bahwa saya akan diisolasi selama minimal 10 hari dihitung dari hari pertama swab. Saat nanti release, kami tidak akan diswab ulang karena sesuai dengan kebijakan WHO, pasien dengan gejala ringan hanya perlu isolasi minimal 10hari +3hari tanpa gejala. Setelah itu dinyatakan tidak infeksius tanpa perlu swab. CMIIW yah, silakan baca-baca lagi di website terkait.

Setelah selesai semua urusan di loket tersebut, Nakes memberikan saya sprei, sarung bantal, dan selimut. Juga diberikan peralatan mandi dan sabun cuci baju. Yang bikin saya kaget adalah saya juga diberikan satu plastik khusus yang isinya gelas karton satu tumpuk, serenteng jahe wangi, energen, teh dan kopi berikut dengan gula dan sendok plastik. Baik juga ya, dikasih berbagai minuman supaya tubuh tetep hangat.

Shelter ini cukup baik meskipun bangunannya adalah bangunan tua dan masih jaman dulu banget. Sepertinya belum banyak renovasi, tapi mayoritas ruangan sudah menggunakan lantai keramik dan bahkan ada kamar yang pakai AC (kemungkinan sih kamar VIP dulunya). Shelternya nggak besar-besar amat, tapi cukupan buat nampung 70an orang saat itu. Ada beberapa lokasi yang dibedakan berdasarkan beberapa jenis. Kamar yang dulunya untuk VIP dijadikan kamar untuk pasien suami istri dan anak. Kamarnya sempit tapi lumayan lah kamar mandi dalam. ACnya nggak dinyalakan jadi entah apakah pengap atau justru enak karena kalo malem udaranya dingin banget. Selain kamar VIP, ada juga bangsal yang dulunya kelas 3. Ada beberapa ruangan besar yang dipisah berdasarkan gender. Kalo nggak salah ingat, ada 2 bangsal cowok (sekamar isi 8-10orang), dan 1 bangsal cewek, plus kamar yang ukurannya lebih kecil, cukup buat 3 orang. Bangsal-bangsal ini nggak punya kamar mandi, jadi kalo mau ke kamar mandi harus jalan dulu ke ujung lorong. Ngeri-ngeri sedap kalo tengah malem kebelet yekan.
NOTE: tapi karena lagi sakit banget karena covid, nggak enak badan dan pusing nggak ketulungan. Boro-boro mikirin yang horor-horor. Bisa nyampe kamar mandi nggak pake pingsan aja udah bagus. Alhamdulillah ada hikmahnya.


suasana di dalam shelter

Di hari pertama saya menginap, saya masih ditempatkan di kamar yang isinya 3 orang dan tidurnya lesehan. Haduh, udah lah lagi asam lambung, kedinginan pula karena tidurnya lesehan (walaupun ada kasur tapi kan tetep aja dingin ya karena kasurnya tipis). Besokannya saya diajakin pindah sama salah satu pasien di bangsal sebelah, katanya kamarnya besar dan kasurnya banyak, tapi penghuninya cuma 3 orang. Asik, akhirnya saya pun pindah ke situ. Ada sekitar 8 kasur di situ, lengkap dengan meja plastik, meja kayu kecil, dan kursi. Di halaman banyak disediakan jemuran baju buat kami yang mau jemur handuk atau baju basah. Lucunya, di halaman juga ada 4 ekor kelinci yang cukup besar, sepertinya sengaja ditaruh di situ untuk dipelihara oleh pasien-pasien yang sedang isolasi di shelter.

bangsal

kelinci di dalam shelter

Minuman yang disediakan adalah air mineral botol yang bisa kita ambil sesukanya dan sebanyak-banyaknya sesuai kebutuhan. Air panas disediakan di dua titik. Makanan datang tiap jam 7pagi, jam 12siang, dan jam 5-6sore. Menunya cukup lengkap: Nasi putih, Lauk 2 macam (misalnya ayam dan tempe), sayuran, dan buah. Kalo pagi dan siang ditambah snack (misalnya risoles atau bolu).Walaupun rasanya biasa aja, tapi bersyukur aja deh karena semua ini kan kita dapetin secara gratis, demi semua pasien bisa cepet sembuh yakaaan. Dan, tiap sore ada beberapa petugas ber-APD yang bertugas mengambil sampah-sampah yang ada di dalam shelter.

Di hari kedua atau ketiga, kamar saya mulai penuh. Bahkan, mama saya pun harus antri sampe 5 hari buat bisa masuk ke shelter. Pasiennya campur-campur, mulai dari mbak-mbak kantoran kayak saya, guru SMP, kepala sekolah SD, ibu rumah tangga, buruh pabrik, ART dan mahasiswa pun juga ada. Sepertinya banyak klaster pabrik karena sekamar saya ada beberapa yang bekerja di pabrik. Di shelter juga disediakan berbagai macam hiburan dan sarana olahraga seperti tenis meja, sepeda statis, raket, alat skipping, dan ada TV dengan internet yang cukup baik beserta sound system. Wifi pun tersedia jadi selama di shelter kami nggak perlu langganan kuota karena wifinya pun udah cukup kenceng buat streaming Netflix. Tiap malam, pasti ada aja yang karaokean sampe hampir tengah malam. Dan kalo pagi, kadang-kadang beberapa ibu-ibu suka senam pagi pake instruktur Youtube yang diputar di TV.

Di dalam shelter ini, saya bener-bener belajar bahwa saat manusia sedang sakit, maka apapun yang membuat manusia tinggi hati menjadi nggak ada artinya lagi. Misalnya, mau itu manajer kantor atau buruh pabrik, mau itu orang kaya atau miskin, semuanya akan tidur di kasur yang sama, makan makanan yang sama, mandi dan cuci baju di toilet yang sama. Sakit yang dirasakan pun relatif sama. Makanya, hal ini sebagai pengingat (terutama buat saya) bahwa jangan pernah sombong jadi manusia. Derajat manusia itu sama, hanya dibedakan oleh hati masing-masing. Dan, Alhamdulillah, di shelter banyak banget orang baik. I dont wanna repeat this moment (I mean, being sick in that shelter), but I'm so grateful for it. Merasakan gimana rasanya bergaul dengan banyak manusia dari segala lapisan, yang ternyata sama sekali nggak ada bedanya. Justru jadi banyak kenalan dan banyak pengalaman hidup yang bisa didengarkan dan diambil hikmahnya dari para manusia yang ada di sana.


Well, jadi begitulah pengalaman saya yang sudah merasakan pahitnya menderita Covid di tahun ini. Saya bener-bener bersyukur sekali bisa sembuh dan sehat-sehat seperti sebelumnya. Momen ini bener-bener membuat saya banyak belajar tentang arti pentingnya sebuah kesehatan, rezeki (yang bisa datang dari mana aja), keluarga yang baik, temen-temen yang baik, dan lain sebagainya. Semoga hal ini nggak akan terulang lagi (yaiyalahh, sapee juga yang mau kena covid ya kaan? hiks). Dan semoga pandemi ini segera berakhir supaya semua orang di dunia bisa kembali beraktivitas dengan tenang dan damai tanpa dibayang-bayangi ketakutan akan tertular/terinfeksi virus ini.

Aamiin.




0 komentar