Pindah Rumah

Semenjak menikah, saya masih tetap stay di rumah orangtua, karena saya dan suami masih belum punya rumah sendiri. Setahun setelah menikah, baru lah kami bisa punya rumah sendiri pake cicilan. Rumahnya jauh, di pelosok desa, di jalanan berbukit, dan jauh dari fasum. Berhubung saya dan suami masih long distance marriage saat itu, karena suami juga kerja di Cilacap sementara saya kerja di Jogja, jadi kami mengurungkan niat buat pindah rumah. Daripada saya sendirian di rumah sejauh itu, ya kan? Rumah itu akhirnya kami kontrakan saja supaya tidak mubazir.

Setelah itu, suami berhasil pindah kerja ke Jogja. Kami tetap nggak bisa pindah rumah karena rumahnya masih dalam masa kontrak. Ketika itu, kami berangan-angan untuk bisa punya rumah di dekat-dekat kota saja, mengingat rumah kami jauhnya ampun-ampunan. Tapi, entah kapan terwujudnya, karena harga rumah di Jogja kan udah mahal banget. Dalam masa-masa kepengen punya tanah di kota, tiba-tiba kami kayak kejatuhan duren, karena Om saya menawarkan tanah warisannya untuk dijual ke kami. Harganya jauh di bawah harga pasaran. Jaraknya juga dekat sekali dari rumah Ibu saya, hanya sekitar 50 meter. Masih satu gang juga. Karena kebetulan cicilan rumah kami yang di pelosok desa sudah lunas, maka kami memberanikan diri untuk kembali mencicil tanah Om saya, dan juga membangun rumah di atasnya. Alhamdulillah banget, setelah berbulan-bulan pembangunan rumah, akhirnya jadi juga dan sekarang adalah waktunya saya pindah rumah.

Berbulan-bulan sejak pembangunan rumah, saya bener-bener excited dan nggak sabar supaya rumahnya bisa segera jadi. Saya bersemangat sekali, mulai dari menggambar denah rumahnya, mencari referensi fasad, mencari kontraktor, juga mengawasi langsung pembangunannya. Selama 5 tahun berumah tangga, akhirnya ada kesempatan di mana saya bisa segera tinggal berdua aja dengan suami. Alhamdulillah.

Waktu pindahan akhirnya tiba. Kami mengemasi barang-barang kami. Banyak sekali kardus-kardus yang sudah dipak, juga aneka macam barang-barang yang sudah dibeli, semuanya dibawa pake jasa angkut (padahal cuma ngesot doang nyampe). Siang hari, saat lagi mindahin barang dan sortir-sortir kardus, suasana hati masih ceria dan bersemangat. Bahkan, rasanya udah nggak sabar pengen melalui hari-hari di rumah baru. Tapi, begitu malem tiba, suasana hati berubah jadi mellow. Di rumah baru itu sepi banget, cuma berdua. Sementara, biasanya di rumah orangtua kan rame, yah. Ada kucing, ada kakak adek, dan kami sering banget becanda-becanda sampe ngantuk. Kadang juga nonton Netflix bareng di kamar kakak. Sekarang, apa-apa berdua. Sepi. Dan, hati rasanya nggak nyaman. Hiks.

Saya tau, rasa ini pasti akan datang dan kemudian berlalu. Homesick itu sudah pasti. Apalagi, seumur-umur, saya nggak pernah bener-bener 'pergi' dari rumah. Kalopun pergi (misalnya merantau atau ke rumah suami di Cilacap), saya pasti bakal balik lagi ke rumah orangtua. Nah, pindah rumah kali ini bakal terasa beda karena saya bakal 'pergi' selamanya dari rumah orangtua. Kalopun ke rumah ortu, jatuhnya cuma berkunjung/bertamu aja. Bukan yang 'tinggal' di sana lagi. Hiks hiks , kok makin mellow ya?

Saya cuma pengen rasa ini segera berlalu. Saya pengen nggak usah pake sedih-sedihan segala. Wong cuma deket juga kok! Tapi, gimana lagi kalo rasanya di hati malah makin sedih? Namanya hidup baru dan menikah, pasti akan ada masanya untuk hidup sendiri. Banyak kok, yang udah mulai hidup sendiri dari muda, dari kuliah dan ngekos sendiri. Apa-apa sendiri. Termasuk suami saya. Makanya dia happy-happy aja waktu pindah rumah. Beda dengan saya yang 'anak mami' dan seumur-umur nggak pernah jauh dari orangtua. Jadi, ya udah deh. Tetep saya kudu melewati 'rasa' ini. Rasa nggak nyaman dan sedih di hati. 


Nggak pa-pa. Masih bisa kok sering-sering nginep di rumah Mamah. Kapan aja bisa, asal pelan-pelan bisa mandiri hidup di rumah sendiri.


Huwaaaa... MAMAAA!! :'(




0 komentar