...
Aku melihatnya saat hari-hari pertamaku disini. Aku melihatnya masuk bersama teman-temannya untuk menyelesaikan deadline tugasnya. Saat pertama kali aku memandangnya, aku tau akan ada sesuatu yang nantinya akan memberontak dalam hati. Aku tau, there will be something wrong in my heart.
...
Matanya yang selalu memandang ke arah lain, tidak pernah mau melihatku ada disana, sudah menjadi hal yang biasa buatku jika dia mampir ke ruang yang sama denganku. Aku sudah terbiasa dengan sikapnya yang dingin. Dia hanya menghiraukan orang-orang yang dia kenal, selebihnya hanya dianggap pajangan dinding. Dingin. Begitu lah aku menyebutnya.
...
Suatu kesempatan datang kepadaku saat dia melemparkan pertanyaan ke siapa saja yang bisa membantunya mencari sesuatu. Kebetulan pula aku bisa menjawabnya. Dan saat aku menjawabnya, dia hanya diam. Bahkan aku tidak yakin dia mendengarkan aku menjawabnya, walaupun aku tau dia mendengar. Semakin dingin. Aku tau. Dan aku malah mulai menyimpan rasa tidak suka padanya. Sok cool. Terlalu dingin. Terlalu cuek. Terlalu menutup diri.
...
Dan kemudian aku lama sekali tidak melihatnya datang. Mungkin tugasnya saat itu sudah selesai. Dan aku mulai melupakan bahwa dia ada di gedung yang sama denganku. Aku tidak memikirkannya sama sekali. Bahkan aku tidak pernah sekalipun menanyakannya pada siapapun. Hanya cukup aku tau namanya, dan dingin sikapnya waktu itu, tidak membuatku berminat mengenalnya lebih jauh, sekalipun hanya untuk pertemanan. Aku justru menyimpan rasa pada temannya, yang lebih hangat. Yang lebih mampu mencairkan bekunya suasana disana.
...
Hingga pada akhirnya suatu kesempatan lain kembali datang, mempertemukan aku dan dia (lagi). Dalam hiruk pikuk dan keramaian disana, aku-secara tidak sengaja- duduk berhadapan dengannya. Setelah cukup lama dibuai waktu dengan diam-diaman antara aku dan dia, akhirnya ku beranikan diri menyapanya. Dan ternyata, namaku pun dia tak tau. Ckck. Dan lucunya, kami pun akhirnya berkenalan. Dalam hati aku terkikik, bisa-bisanya kami baru berkenalan hari itu, padahal sebelumnya kami sering sekali berpapasan dan berada dalam ruangan yang sama. Sekalipun tak ada inisiatif untuk berkenalan. Baru pada hari itu, akhirnya, pertemanan antara kami mulai terjalin.
...
Entah bagaimana, aku merasa bahwa dia ternyata keren juga. Dan entah bagaimana juga, dia mulai mengirimiku pesan singkat. Komunikasi antara kami melalui pesan singkat pun tidak pernah terputus. He seemed to be so happy to have any communications with me. Aku lupa sejak kapan aku mulai menyukai dia pada akhirnya. Aku lupa sejak kapan aku mulai gugup saat memandang matanya. Aku mulai mencari-cari dia saat dia tidak ada, dan mulai mengkhawatirkan saat dia sakit. Segala sesuatu yang ada pada dia menjadi menarik buatku. Aku lupa bahwa aku memiliki kehidupan sendiri yang terlalu rumit untuk dicampur adukkan dengan perasaan baru ini. Aku bergelut dengan prinsip dan tekanan pada hidupku, berusaha menarik benang merah yang mengikatku selama ini. Pada akhirnya, aku bisa mengecap kebebasan. Kebebasan untuk melakukan apapun. Kebebasan untuk mencintai.
...
Namun ternyata, untuk memupuk perasaan suka sekalipun tidak semudah dan seindah yang aku bayangkan sebelumnya. Karena memang sudah kodratnya lelaki untuk mencari yang terbaik baginya. Dan wanita hanya bertugas menunggu. Dia menebarkan jaringnya terlalu luas, dan mungkin telah menemukan satu bintang yang sanggup menerangi jalan hidup dia untuk ke depannya. Sedangkan aku..
... Aku bukan wanita yang dia harapkan. Jauh dari apa yang dia harapkan. Terlanjur menjangkarkan hati yang terlalu dalam padanya, pada akhirnya aku merasakan sakit yang luar biasa saat aku ingin melepaskan jangkar itu. Kenyataan bahwa selalu dia yang memulai percakapan itu dan aku hanya
membalasnya, tanpa pernah memulai. Dia yang memulai sehingga perasaan
ini akhirnya ada. Namun aku teringat selama ini obrolan kami hanya sekedar banyolan-banyolan tanpa setitik pun menyentuh masalah pribadi. Aku teringat bahwa aku diberi tahu temannya mengenai kehidupannya yang juga cukup rumit. Mengenai bagaimana pahitnya kehidupan cinta yang dia jalani hingga akhirnya dia menjadi dingin. Aku paham betul. Yang tidak aku pahami adalah, mengapa aku harus merasakan kesakitan yang amat dalam saat dia memutuskan untuk mengurangi frekuensi komunikasinya denganku. Bahkan dia tidak pernah memberikan harapan apapun padaku. Tapi mengapa harus sesakit ini rasanya?
...
Tinggal sejengkal langkah lagi baginya untuk meninggalkan kota ini. Dan tinggal sejengkal langkah pula bagiku untuk berada dalam dilema. Dilema untuk mengatakan seberapa besar dan hebatnya perasaanku ini padanya, atau untuk tetap melepas kepergiannya dalam diam dan keterpurukan atas cinta yang tak terbalaskan. Karena aku sadar, sebagai wanita aku tidak akan pernah bisa mengutarakan apa yang seharusnya aku katakan. Sebagai wanita, sudah digariskan bahwa aku hanya bisa menunggu tanpa tau bagaimana akhirnya...
... Seperti kataku di awal tadi. Aku sudah menduga dari awal aku melihatnya. Bahwa akan ada sesuatu yang nantinya akan memberontak dalam hati. Bahwa nantinya, there will be something wrong in my heart.
Tapi tak ku duga bahwa 'something wrong' tersebut akan sesakit ini...
... Seperti kataku di awal tadi. Aku sudah menduga dari awal aku melihatnya. Bahwa akan ada sesuatu yang nantinya akan memberontak dalam hati. Bahwa nantinya, there will be something wrong in my heart.
Tapi tak ku duga bahwa 'something wrong' tersebut akan sesakit ini...
NOTE: Kisah ini hanyalah fiktif belaka.
Enjoy to read
0 komentar