Elegi...

Elegi. Satu kata yang sudah aku temukan sejak 9 tahun yang lalu. Satu kata yang akhirnya melekat pada satu nama yang tidak pernah berganti sosoknya. Syair ratapan, silih berganti menyisir hati diantara tawa usang memori lalu. Sudah tahunan lamanya aku pergi. Melupakan apa yang bisa dilupakan. Menetralkan apa yang seharusnya bisa untuk dinetralkan. Menjalani kehidupan sebagaimana mestinya. Beranjak dari satu fase ke fase berikutnya. Mengiris hati yang utuh, mengobati hati yang tercabik.

Hingga aku berhasil menjalani semuanya dengan terkendali.
 
Ternyata sepenggal hatiku masih disana. Tersimpan rapi untuk dia, yang posisinya tak pernah beranjak biarpun hanya seinci. Meskipun hanya sepenggal kecil dari besarnya hati, namun penggalan kecil itu tidak pernah berubah. Baru aku sadari, bahwa selama ini dia yang selalu ada untukku, terbuka, dan nyata. Tapi cintaku memang bukan untuk dia sepenuhnya, biarpun masih ada sepenggal kisah lalu yang tak pernah berkarat. Tak pernah lapuk walaupun kutinggalkan dan terpendam bertahun-tahun lamanya, tertumpuk di dasar hati menjadi alas bagi kenangan-kenangan baru lainnya. Tak pernah hilang walaupun tak pernah kujaga.

Aku baru sadar sekarang, setelah lama ku buang jauh. Saat aku mendengar sepercik alunan melodi tentangnya, ternyata getaran itu masih sama. Biarpun getaran itu kecil, namun sanggup membangkitkan semua memori-memoriku tentangnya, yang tidak seberapa tapi sangat bermakna.

Kenyataan bahwa aku dan dia, biarpun hanya sesaat, pernah menjadi kita. Kenyataan bahwa dia, baik dulu maupun sekarang, selalu bisa membuatku merasa tenang. Merasa nyaman, walaupun dalam posisi tersulit sekalipun.

Namun dia hanyalah rumah sakit bagiku, yang selalu ada saat aku butuhkan namun aku tak pernah berharap bisa masuk kesana. Saat aku bahagia bersama orang lain, sedetikpun aku tak pernah mengingatnya. Dan saat aku jatuh, terseok-seok aku mendatanginya. Dan perihnya, ia selalu menyambutku dengan tangan terbuka dan tanpa pamrih. Tapi siapa duga, tanpa kusadari ternyata hatiku masih ada untuknya, biarpun hanya setetes lalu. Saat perasaan itu kembali, aku tak bisa melepasnya begitu saja, biarpun aku bisa saja merelakannya dimiliki orang lain. Jika saja dia tau, walaupun hanya sekelebat lalu, tapi aku masih menyimpan ini untuknya. Aku tau mungkin aku orang yang sangat egois, yang selalu datang kepadanya hanya saat rapuh. Tetapi mungkin memang sudah jalannya seperti itu. Mungkin ke-absurd-an atas hubungan kami akan selalu seperti ini. Dan biarpun harus seperti ini, aku akan selalu menikmatinya. 

Aku yakin dia juga begitu.




Note: Saat itu, senja hari di akhir Oktober, 9 tahun yang lalu. Di ujung sebuah ruangan yang gelap, berdampingan dengan dimensi ruang yang berbeda yang terhubung dalam suatu media yang mengakhiri semua kebimbangan hati dan takkan pernah terlupa. Saat itulah semua berawal, dan tak pernah kulihat hal ini ada ujungnya..

Elegi, by





0 komentar