Saat itu saya sedang memainkan lagu favorit saya, Kiss The Rain, dengan keyboard di ruang tengah. Damai sekali rasanya memainkan lagu itu. Tiba-tiba papa nyeletuk dari meja makan. Itu lagu tentang orangtua ya, begitu tanyanya. Padahal setau saya, itu hanya instrumen tanpa lirik yang alunannya (memang) lembut. Ah, papa ini sok tau aja..
Lalu papa mengambil ponselnya. Mengutak-atiknya sebentar kemudian menunjukkan kepada kami, anak-anaknya, sebuah video. Sambil kami menonton, papa berucap.
Ini video tentang orangtua, lagunya sama seperti yang tadi dimainkan lewat piano.
Kami melihat video yang durasinya nggak sampai sepuluh menit itu. Bercerita tentang dua orang lelaki yang duduk di halaman rumah, yang satu sudah tua, pandangannya kosong, dan memegang tongkat di tangan. Satunya lebih muda, tampak seperti anaknya, sedang memainkan gadget tanpa memedulikan suasana sekitar.
Seekor burung bersiul menyenandungkan nada.
Suara apa itu? Sang tua bertanya.
Suara burung gereja, papa. Demikian jawab anaknya.
Tak sampai dua menit, burung tersebut kembali bercicit.
Suara apa itu? Tanya sang tua lagi.
Burung gereja. Jawab anaknya, matanya tak lepas dari gadget.
Burung itu bersiul lagi.
Suara apa itu?
Rupanya si anak tak sabar. Sambil membentak, si anak menjawab.
Itu burung gereja, papa! Berapa kali kulatakan? Itu burung gereja! Burung gereja!
Sang tua terdiam. Tak lama, ia bangkit dari duduknya dan masuk ke rumah, meninggalkan anaknya yang masih marah. Kemudian ia kembali lagi, menghampiri anaknya sambil menyerahkan sebuah buku usang.
Baca yang keras, begitu kata si tua kepada sang anak.
Kemudian si anak mulai membaca.
Hari ini, anakku yang sudah mulai lancar berbicara bertanya padaku. Dia mendengar seekor burung gereja yang bernyanyi mengitarinya. Dia bertanya padaku sebanyak 38 kali. Papa, suara apakah itu? Dan, sebanyak 38 kali pula aku menjawabnya. Itu suara burung gereja, nak, begitu jawabku. Setiap jawaban aku suarakan dengan lembut dan kemudian memeluknya......
Sang tua mendengarkan sambil tersenyum. Si anak tak dapat berkata-kata lagi. Ia hanya bisa memandang ayahnya, dan memeluknya. Menyadari sebuah hal yang sama namun diperlakukan berbeda.
..
Papa saya ikut tersenyum dengan berakhirnya video itu. Jadi kalo sudah dewasa nanti, harus tetap sayang sama orangtua ya, begitu katanya. Mata saya sudah basah oleh air mata. Saya terharu. Dan satu hal mengganggu pikiran saya, jauh berbeda dengan cerita di video itu, yang bercokol di pikiran saya sampai sekarang..
Ada sebuah kata mutiara yang sering saya dengar. "Satu-satunya hal yang membuatku bersedih saat aku beranjak dewasa adalah ketika aku menyadari bahwa orangtuaku juga semakin tua". Kata-kata itu tiba-tiba terlintas di kepala saya bersamaan dengan usainya video tersebut. Betapa waktu telah berlalu dan saya memandang kedua orangtua saya sudah semakin tua. Ya, memang belum terlalu tua, sih.. Namun, saat nanti sudah waktunya saya menikah dan punya anak, bukankah mereka juga akan semakin tua?
Tiba-tiba saya ingin kembali ke masa kecil saya. Masa di mana keluarga saya masih bisa berkumpul berlima, lengkap, dan tinggal bersama-sama. Bahagia sekali rasanya. Tak perlu menunggu weekend untuk bisa berkumpul karena setiap malam pun kami bisa bersama. Saya merindukan masa-masa itu. Saya merindukan papa yang jarang rapat. Saya merindukan kakak saya yang jarang sibuk di kampus. Saya selalu menghitung waktu, sampai kapan kami bisa terus bersama.
Hingga saya mulai menyadari, bahwa sabtu dan minggu yang kami sisihkan untuk berkumpul bersama menjadi waktu yang sangat-sangat berharga. Hingga saya rela meninggalkan acara apapun, hanya untuk berkumpul bersama keluarga.
Sorry, aku nggak bisa ikutan. Bokapku lagi di Jogja nih..
Kalimat itu lah yang jadi kalimat favorit di saat ajakan-ajakan itu datang. Saya selalu meluangkan waktu saat weekend, untuk bersama keluarga, bersama papa yang tak bisa setiap hari bertemu.
Bahagianya saat saya bangun, dan papa sudah duduk di meja makan, menikmati sarapannya. Bahagianya saat kami sudah duduk manis di depan tv, full team, menonton film favorit kami. Bahagianya saat kami jalan-jalan di luar, bercanda di dalam perjalanan, atau nongkrong berjam-jam di satu kafe. Bahagianya saat semua itu bisa terjadi, meskipun hanya seminggu atau dua minggu sekali.
Dan sedihnya, seperti detik ini, saat papa sudah bersiap kembali ke jakarta.
Papa, sampai kapan hidup kita begini?
Namun, dengan keadaan seperti ini, saya bisa jauh menghargai kebersamaan keluarga saya. Saat yang hanya (benar-benar) sesaat, hingga tak terasa, sudah hampir 13 tahun kami hidup begini.
Ada alasannya di mana saya dan kakak saya tak ingin menikah muda, ada alasannya di mana saya dan kakak saya tak ingin bekerja di luar kota, kecuali di jakarta. Ada alasannya mengapa saya lebih memilih menghabiskan waktu di rumah daripada keluyuran di luar.
Menikmati masa-masa bersama keluarga. Satu momen yang hanya bisa dikikis oleh waktu. Ketika saya sadar bahwa usia orangtua saya sudah lebih dari setengah abad, saat itu lah yang membuat saya makin bersedih. Belum ada satu pun, sekecil pun, yang bisa saya berikan untuk menyenangkan hati orangtua. Belum ada setitik pun, saya bisa persembahkan untuk orangtua. Yang saya bisa beri saat ini hanyalah waktu dan doa. Tuhan, mereka semakin hari semakin tua.. Semakin hari saya semakin dewasa. Saya takut, jika suatu saat nanti, saya akan menyakiti hati orangtua saya. I never forgive myself if it'll happened. Naudzubillahimindzalik.
Anak adalah perhiasan orangtua. Demikian pula, orangtua adalah harta anak yang tak ternilai dan paling berharga. Satu hal yang harus dilakukan jika orangtua semakin bertambah tua adalah menjadi anak sholehah yang berbakti pada orangtua, menyenangkan hati kedua orangtua, dan melakukan apa saja yang dapat membuat orangtua bangga. Dan, selalu mendoakan orangtua, karena doa anak sholeh untuk orangtua merupakan salah satu amalan yang tak akan terputus ketika seseorang telah dipanggil Tuhan. Oh God.. Please give them a longlife.. *begging*
Ya Allah, sayangilah mereka sebagaimana mereka MENGASIHIKU di waktu kecil..
0 komentar