Perjalanan Panjang Menuju 'Menikah'.

Dilamar. Menikah. Kayak apa rasanya?


Saya baru terpikirkan untuk menikah ketika saya duduk di bangku kuliah. Saat itu tahun 2012. Saya punya pacar yang kebetulan sudah bekerja, dan akhirnya ada obrolan ke arah pernikahan. Sebelumnya, saya nggak pernah sekalipun terpikirkan soal pernikahan. Maksudnya, ke esensi pernikahannya. Kalo pesta pernikahan, saya yakin kebanyakan gadis pasti punya pernikahan impiannya. Sedangkan untuk pernikahan itu sendiri, mungkin nggak semua gadis belasan tahun punya pikiran untuk itu.

Membicarakan tentang pernikahan ternyata sesuatu yang rumit. Kenapa? Karena hati saya memiliki banyak syarat untuk menuju ke pernikahan. Banyak sekali ba-bi-bu dan beribu pertentangan di hati saya. Bahkan di saat teman-teman di kampus saya rata-rata memiliki keinginan untuk menikah di usia 22 tahun-di mana, kata mereka, adalah usia yang pas bagi wanita untuk menikah-, saya justru ingin menikah minimal di usia 25 tahun. Eh, enggak ding, di usia 26 tahun. Saya rasa, perlu banyak pertimbangan untuk menikah, biarpun waktu itu saya sudah ada pacar. Rasanya, menikah di usia 28 tahun pun juga nggak papa saat itu. Usia bukanlah suatu indikator utama seseorang untuk menikah. Saat itu, saya lebih bersemangat untuk hidup mandiri, menggapai cita-cita dan menyusun lembaran-lembaran rencana untuk karir saya kelak.

Lalu tiba-tiba, saya nggak punya pacar di tahun 2014. Lalu, lebih dari setahun saya jomblo (ugh!). Tapi yang bikin saya kaget (untuk seseorang seperti saya yang belum pernah jomblo dalam waktu setahun) that I was happy to be single. Nggak pernah merasa sebahagia itu dalam hidup saya. Dan, saat itu saya berfikir bahwa menikah bukan jadi prioritas utama. Nanti lah, mungkin 2-3tahun lagi, itu pun kalo jodohnya udah ada. Ketika itu, saya merasa bahwa target saya untuk menikah di usia 26 tahun pasti akan bergeser kurang lebih 2 tahun kemudian. Saat itu kebetulan saya sedang skripsi, dan banyak sekali mimpi-mimpi yang berkaitan dengan pendidikan juga pekerjaan yang begitu menggebu-gebu untuk diwujudkan.

Dan ketika saya kenal dengan Vido di waktu yang sama, sampai akhirnya kami sepakat untuk berkomitmen menjaga perasaan satu sama lain, ketika itu pula kami sepakat untuk tidak membahas dulu soal pernikahan. Banyak hal yang kami lakukan termasuk saling mendukung soal karir dan peningkatan taraf hidup, bagaimana merubah mindset kami yang sebelumnya seorang mahasiswa menjadi seorang pekerja yang hidupnya harus lebih baik lagi. Bagaimana caranya menabung, bagaimana caranya menyelesaikan masalah-masalah di kantor, bagaimana caranya bertahan hidup dengan kualitas yang lebih baik. Dalam hubungan kami, kami juga belajar tentang mempertahankan hubungan jarak jauh, tentang saling memahami dan saling percaya.

Saya nggak pernah menyadari alur komitmen saya dengan Vido karena rasanya segalanya mengalir seperti air. Nggak ada yang memaksa Vido untuk tetep stay sama saya ataupun sebaliknya. Kehidupan kami berjalan apa adanya, kami bahagia dengan hidup kami masing-masing. Hingga akhirnya saya merasa bahwa Vido adalah sebuah klik yang pas untuk mendampingi hidup saya selamanya. Hingga pada akhirnya obrolan-obrolan kami mulai masuk ke pernikahan. Tentang kehidupan setelah menikah.

Akhirnya Vido memutuskan untuk melamar saya di pertengahan 2017. Saya kaget dong. Tapi, yang lebih bikin saya kaget lagi adalah, I said yes, tanpa memikirkan apa yang akan terjadi setelahnya. 

Gimana rasanya lamaran?

Deg-degan ya. Beda banget ya kalo dibandingin saat ditembak jadi pacar. Ditembak jadi istri itu ... ng... something like we can't decide it that fast, but actually we have to. brr.. Untungnya sebelumnya saya dan Vido udah sering ngobrol soal pernikahan, sehingga saya mau-mau aja ketika diajak married ama doi. Bwehehe.

Kehidupan saya setelah itu berlangsung sangat-sangat cepat. Setelah itu, keluarga Vido datang ke rumah untuk nembung, kemudian tiba-tiba tanggal pernikahan sudah ditetapkan, lalu kami pun lamaran resmi dan pada akhirnya menikah.

Karena (mungkin) saya sangat sibuk ngurusin pernikahan saya sendiri, di mana Vido dan papa saya kerja di luar kota yang cuma bisa pulang seminggu sekali, sehingga apa-apa saya urus sendiri, membuat saya kurang mendapatkan 'feel' pernikahan. Ribetnya bolak-balik ke KUA, deal dengan para vendor, semuanya saya lakoni sendiri (kadang ditemani Vido atau kakak saya). Nyolong-nyolong jam kantor sih udah biasa ya, tapi seringnya saya lakukan di jam istirahat atau jam pulang kantor.

Dan karena saya berkejar-kejaran dengan waktu, tiba-tiba hari pernikahan saya sudah di depan mata. Banyak sekali hal-hal yang luput dari catatan saya biarpun saya sudah berusaha untuk semaksimal mungkin jadi well-organized.

Persiapan pernikahan itu sendiri ternyata luar biasa ya. Ribet sana-sini, fast dealing with vendors, dan segala macem tetek bengek lainnya yang bikin pusing luar biasa. Rasanya kayak kerja jadi event organizer. Sampe saat itu rasanya, setelah menikah, saya bakal buka jasa EO. hahaha.

Banyak yang bilang kalo kita nggak boleh stres menjelang nikahan. Lha, gimana nggak stres? Semuanya diurusin sendiri. Beruntungnya, saya urusin nikahan jauh-jauh bulan. Jadinya nggak terlalu ngoyo dan keburu-buru cari vendor. Masih leluasa nentuin vendor yang mana. Stresnya itu biasanya kalo lagi dalam kondisi rush, misal janjian dengan vendor ini kemudian harus berangkat kerja dan siangnya ke sini, belum lagi kalo ada masalah di vendor lainnya. Beuhh! Bikin banyak hal-hal kecil yang kelewat.

Belum lagi selama masa persiapan pernikahan itu banyak ributnya sama Vido. Ini itu ribut. Hal nggak penting jadi ribut. Padahal saya jarang banget ribut ama Vido. Misal, doi nanya sesuatu, ntar gue jawabnya rada tinggi, trus doi jadi sensi, terus ribut lah kami hehehehe. Sampe sering banget saya bilang,"DAH NGGAK USAH JADI NIKAH AJA!" beuuhh! Nggak jadi nikah beneran nyahoo lo! Alhamdulillah, we'd passed that peacefully fyuuuh!


Gimana rasanya akad nikah?

Ngg.. Gimana ya.. Dibilang deg-degan yaa lumayan sih. Tapi nggak segitunya amat. Karena balik lagi seperti yang saya bilang, saya kurang dapet feelnya. Segala macem keribetan menjelang pernikahan and I had to face it by myself, bikin saya kebal. Jadi saat akad yaa saya biasa-biasa aja. Kebetulan juga saya nggak ikutan akad nikah (masuk ke meja akad saat sudah selesai ijab qabul), jadi nggak terlalu berasa ketegangan di meja akad. Waktu proses akad juga ditemenin kakak, adek, dan para sahabat jadi lebih lemess lah hatinya.

Tapi ada yang lucu, yaitu saat saya masuk ke meja akad setelah sah menjadi suami istri. Saya melihat Vido tuh kayak, hah ini nih yang jadi suami gue? Hahaha. Padahal udah tau, it's been him, tapi kayak ada yang beda aja sih liatnya. Lucunya, doi juga nggak berani lihatin saya. Mihihihi. Mungkin masih grogi kali ya.


Gimana rasanya resepsi?

Capek luar biasa! Hepi banget sih, tapi capek! Nggak pernah terpikirkan bisa tercapai keinginan menikah pake dress yang dipengenin, dekorasi yang sesuai harapan, juga makanan-makanan yang bener-bener enak! Banyak banget tamu yang memuji pesta pernikahan, banyak yang happy, and that's more than enough for me.

Ketika pernikahan itu akhirnya berjalan dengan baik, dengan bantuan vendor-vendor yang baik, dengan keluarga yang luar biasa sekali membantu jalannya pernikahan saya, akhirnya saya bisa tarik napas lega. Kekurangan-kekurangan itu tetep ada, tapi saya sangat-sangat bersyukur semuanya saling back up dan berjalan dengan baik. I really want to thank my big family and vendors for all they already done for my wedding ceremony and the party. Really can't thank enough for all of this. Terima kasih ekstra untuk kakak saya yang banyak sekali saya repotin, besok gantian deh kalo nikah saya yang bantuin ehehehe.

Walaupun akhirnya saya pake juga itu Wedding Organizer di detik-detik terakhir menjelang pernikahan. Dan mereka cukup membantu saat acara (karena saya bayar mereka untuk sesi acara aja, lha wong persiapannya udah kelar diurus sendiri, hiks). Many thanksssss!

Well, mempersiapkan pernikahan tanpa dibantu event organizer ternyata cukup menguras tenaga, waktu, dan pikiran. Tapi, asli, PUAS BANGET!

Jadi, begini kah rasanya menikah? Ehehehe.



0 komentar