Hanya Teman



'... Candy apa kabarnya, ya?'

Aku tertohok. Sudah lama aku melupakan nama itu. Aku terlarut dalam kesibukan yang sengaja ku lakukan untuk membiarkan namanya berlalu dari hatiku.

'Gue lama banget nggak ketemu dia. Kalo lo gimana? Sering ketemu?'

Aku kembali tertohok. Kerongkonganku tercekat. Temanku menanyakannya seolah-olah hal itu hanya pertanyaan ringan yang tak berarti. Setidaknya baginya. Bagiku, pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab.

Dan ingatanku berjalan mundur. Kembali ke masa itu. Masa di mana aku masih susah move on. Masa di mana aku sekuat tenaga mencoba melupakannya.
Aku tak akan pernah bisa melupakan bagaimana caranya aku mencoba menyampingkannya. Mencoba menerima bahwa dia bukan untukku. Namun, karena telah terendap lama, perasaan itu sangat sulit dibuang.

Dia, yang bermata indah kecoklatan, menyihirku setelah beberapa kali bertatap muka. Dia, yang lebih dahulu membuka kisah, membuatku makin tersihir. Sekilas, aku melihat sesuatu yang mungkin bisa aku miliki. Detik demi detik, kami lalui hari penuh suka cita. Menatap matahari terbit dengan secangkir kopi di tangan. Waktu terus berjalan, bahkan berlari, karena aku tak bisa merasakan waktu. Tiba-tiba semuanya selesai. Dan dia pergi.

Kopi itu sudah habis. Matahari terbit sudah tak ada lagi.

Aku selalu rindu masa-masa itu. Aku selalu rindu akan gelak tawa yang selalu ada di antara kami berdua. Aku rindu pertengkaran kecil yang menghiasi hari-hari kami. Aku rindu akan segalanya yang terjadi, mengalir apa adanya.

Sempat tertoreh janji. Walau pun mungkin hanya terucap dalam hati. Janji itu tak pernah terwujud. Janji dalam hati yang berusaha menyatukan kami. Tak pernah sekali pun terwujud. Ya, kami memang bersatu. Namun tidak ada ikatan apa pun dalam realitanya. Aku kembali tercekat. Memahami bahwa mungkin semuanya hanya bisa disebut sebagai ... teman.

Aku tak yakin apa kah ini cinta. Aku tak yakin. Aku hanya merasakan kenyamanan dalam nada suaranya. Aku merasa bisa mengendap selamanya di sana, bersamanya. Aku berpikir bahwa dia merasakan hal yang sama, sampai pada akhirnya aku menyadari bahwa itu hanya di pikiranku saja. Dia mungkin tak merasakan hal yang sama. Entah sudah mengabur atau mungkin memang tak ada, aku tak tau. Hanya saja ku rasa aku sudah terlambat.

Aku kembali berpikir. Sungguh, betapa aku masih membutuhkan banyak waktu. Aku butuh seluruh waktuku untuk tetap bersamanya. Aku sungguh masih ingin menatap matahari terbit dengannya. 

Hingga dia beranjak pergi, aku benar-benar tau bahwa aku selalu terlambat menyadarinya. Di saat dia mungkin ingin terikat, aku hanya diam. Dan di saat rasa itu mulai ada padaku, dia mulai menamai kebersamaan ini dengan nama ... teman.

Aku tertohok lagi. Teman? Bahkan aku tak tau apa arti diriku untukmu. 

'Hey! Malah ngelamun!'

Dimensi realita itu kembali. Aku tersentak. Menyadari bahwa semua itu telah lama berlalu.

'Lo denger nggak gue nanya apaan?'

'Ng.. Candy?'

'Iya. Kapan terakhir kali lo denger kabar dia? Sombong banget tu anak sama kita-kita.'

Ada sepotong sunyi sebelum aku menjawabnya.
'Gue..  nggak tau. Udah lama nggak ketemu.'

Sungguh, aku berharap nada suaraku terdengar biasa saat menjawabnya.


0 komentar