Elegi in the last day of Us

I took this picture from here

Satu rasa sudah mengendap di hati. Kita tak mampu untuk menghindari. Tidak juga diri ini. Hanya Tuhan yang tau kapan semua ini akan mengalir meninggalkan relung hati. Tak sekali pun diri membawa rasa ini. Namun tak kunjung jua pergi.

Aku tau rasa ini tak pernah mati. Bukan berarti aku mengkhianati. Pun jangan dikira aku menikmati. Sesungguhnya aku sangat tersakiti. Ratapan itu terus merobek hati. Menyakiti hati yang sudah amat terkendali.

Ketika sepenggal hati masih terisi, bukan berarti aku ingin terpatri. Dia hanyalah penyejuk hati. Penopang sepi saat hati ingin bernostalgi. Kenangan masa belasan tahun yang tak pernah mati. Hanya aku dan Tuhan yang bisa mengerti. Tidak juga dia pahami. Tidak siapa pun di sini.

Hingga saat itu. Dimensi belasan tahun itu kembali. Tidak terpisah ruang dan waktu. Tidak pula senja di akhir Oktober. Harapan untuk menetralkan segalanya telah buyar. Pengakuannya membuatku kelu. Hingga ku sadari segalanya berada di waktu yang salah. Selama belasan tahun.

Hingga ku sadari. Segala sesuatunya masih sama meski waktunya telah berbeda.

Hingga semuanya terlontar dari bibirnya. Semuanya.

Dia menganggap aku adalah sebuah masalah yang tak kunjung berhenti menghantuinya karena kemunculanku di waktu-waktu tertentu belasan tahun terakhir.
Dia pernah memiliki rasa yang sama di waktu itu. Yang begitu menggebu-gebu. Yang tak pernah berhasil dia ungkapkan kepadaku.
Dan saat aku dulu merasa bahwa perasaan kami tidak sama, dia memilih untuk tidak mempertahankan aku. Dia memilih menyimpan perasaannya daripada mengungkapkannya. Dia memilih untuk melepaskanku bersama orang lain. Dia menganggap aku telah membagi perasaan sayangku untuknya.
Dia masih memiliki perasaan yang sama selama belasan tahun terakhir. Perasaan itu datang dan pergi, tanpa bisa ia kendalikan.
Setelah kejadian itu, dia merasa bahwa waktu tidak pernah tepat
Dia tidak pernah mau mengambil perasaanku dari siapa pun, termasuk dari seseorang yang pernah merebutku darinya.
Dia pernah bilang bahwa dia pernah mempertimbangkanku untuk menjadi partner hidupnya, bahkan aku pernah menjadi doanya saat itu. Saat sebelum dia (akhirnya) mantap menjalani hidup dengan orang lain selain diriku.
But still, I am the one and only for him. Juga tak tergantikan oleh siapa pun. Meskipun tak akan pernah bisa dia miliki lagi. Begitu yang dia ucapkan padaku.
Dia memiliki satu perasaan untukku, yang takkan pernah dia lihat ujungnya, yang tak pernah bisa ia jelaskan perasaan itu. Tidak pula bisa ia pahami untuk dirinya sendiri.
Dia berusaha untuk memperbaiki apa yang pernah terjadi dan yang pernah rusak antara aku dan dia belasan tahun yang lalu.
And surprisingly, dia mengikhlaskanku untuk hidup bahagia dengan pasanganku saat ini. Dia hanya ingin melihatku bahagia, sudah cukup baginya tanpa harus dia miliki.


Ketika semuanya semakin jelas, aku tak ingin mentari pagi berubah menjadi senja. Semuanya terlalu terlambat untuk diperbaiki.

Mungkin ke-absurd-an hubungan kami berdua akan selalu seperti ini.

Saya tak mencintainya lagi. Meskipun sepenggal rasa juga masih terukir di dasar hati. Tidak pula memiliki keinginan untuk hidup bahagia bersamanya. Tidak sekalipun. Saya hanya menyesali elegi yang terus meratap, yang tak seharusnya menjadi elegi.

Yang jika segalanya jelas belasan tahun yang lalu, mungkin aku tak perlu memiliki perasaan yang terus menerus merobek hati.

Ya sudah lah.

Ini lah namanya hidup. Ini lah yang harus dijalani.

Dan surprisingly, aku juga hanya ingin dia bahagia bersama pasangannya. Pasangannya yang baik dan halus hatinya. Yang mampu menentramkan hatinya.

Mungkin aku bisa menentramkan hati seorang laki-laki. Tapi bukan dia.

And I really want to believe,
It has been written.


Elegi by,

0 komentar