Thank You For All, Mitha

Saya mengenal Mitha di 2004. Tepat ketika saya masuk di bangku SMP. Mitha datang di kehidupan saya, ikut mewarnai rona suka duka saya dalam menjalani hidup sampai hari ini. Mitha seringkali muncul dalam beberapa memori saya, sehingga tak berlebihan jika saya menganggap dia sebagai salah satu dari sekian banyak orang yang berpengaruh di hidup saya. Butuh kebesaran hati yang cukup ekstra untuk bisa menuliskan Mitha dari sudut pandang saya. Entah apa yang menggerakkan saya untuk menuliskan tentang Mitha di sini. Saya hanya ingin menyimpannya di sini, sebagai bukti bahwa dia telah memberikan banyak pelajaran dalam hidup saya, meski tidak secara langsung.

Bukan. Dia bukan sahabat saya. Bahkan, dekat pun enggak. Saya hanya sebatas mengenalnya, diapun juga begitu. 

Membongkar memori tentang Mitha berarti membongkar memori masa remaja yang tentu aja banyak fase childish dan alay. Juga membongkar segala rasa bahagia dan juga sakit hati yang pernah terjadi dalam fase remaja saya. Tak-apa, takperlu ada yang disesali. Malah, seharusnya disyukuri. Namanya juga proses pendewasaan diri. 

Saya pertama kali melihat Mitha di sekolah, ketika kami sama-sama menjadi siswa baru kelas 7. Mitha yang manis, Mitha yang mencuri hati banyak cowok-cowok di sekolah, termasuk kakak kelas yang nggak sabar ingin segera berkenalan dengannya. Saya nggak terlalu ngeh dengan kehadiran Mitha, sampe pada akhirnya terdengar kabar bahwa Mitha jadian dengan Leraf, cowok yang saya taksir. Ah. Ya sudah, lah. Toh saya hanya sekedar naksir, nggak berniat untuk mepet-mepetin si Leraf. Celakanya, banyak anak-anak seangkatan yang tau bahwa saya naksir Leraf, termasuk Mitha. Hm, yak, sudah bisa dibayangkan akhirnya, kan?
Di suatu sore, di sekolah, Mitha mendatangi saya yang sedang duduk di bawah pohon.
"Kamu naksir sama Leraf ya? Kamu Deira, kan?" tembaknya langsung.
Bahkan saya pun nggak bisa menjawab. Takut dia marah. Tapi ternyata dia nggak marah. Saat dia menyadari bahwa saya nggak bisa menjawab, dia pun berlalu dari hadapan saya.

Saat itu, saya mulai menyadari keberadaan Mitha. Mitha yang nggak lama kemudian putus dari Leraf. Mitha yang kemudian naksir kakak kelas yang juga sahabat saya. Mitha yang ternyata nggak terlalu banyak bicara. Mitha yang banyak menebar senyum. Mitha yang kalem, yang sopan, yang mencerminkan diri sebagai anak orang kaya dengan barang-barang brandednya, handphone yang selalu up to date, dan diantar jemput menggunakan jeep khusus untuknya.

Sungguh, kalo dibandingin sama saya mah bedanya kayak langit dan kebon. Saya nggak cantik, nggak kalem, petakilan banget, centil, suka caper, dan kalo berangkat-pulang sekolah cuma naik bus kota. Cuma satu yang bisa saya menangkan dari Mitha, yaitu saya lebih pinter dari dia. Tapi, tentu aja cowok-cowok lebih melihat ke paras daripada otak, ya kan? 

Kami pun sama-sama naik ke kelas 8. Saya nggak terlalu banyak mengingat urutan kejadiannya. Hanya aja, ketika di kelas 8, kami berada di satu ekskul yang sama. Ketika kami dikirim untuk mengikuti pelatihan pengembangan keterampilan ekskul tersebut di sebuah SMK, saya pergi dengan Mitha dan satu teman cewek yang lain. Seperti biasa, Mitha nggak banyak bicara. Hanya menebar senyum. Sampai di sana, kami mengikuti pelatihan. Sebelumnya, kami isi daftar hadir yang sudah disediakan oleh panitia. Mitha duluan mengisi daftar hadir lalu masuk ke ruangan. Sementara saya sedang mengisi daftar hadir, mbak-mbak panitia penjaga daftar hadir berbisik-bisik,"cantik ya.. mancung, manis...". Saya agak mikir, kok bisa, ya, Mitha dipuji sama seseorang yang nggak dikenal. Sebersit rasa iri pun muncul dari saya yang buluk dan kurang perhatian. Tapi, irinya masih positif ya! Bukan iri dengki kzl gitu deh.

Sejak saat itu, saya mulai mengamati Mitha. Bagaimana caranya duduk (yang selalu tegak, nggak pernah bungkuk), lalu caranya bicara yang cukup elegan, juga memperhatikan wajahnya yang ternyata manis banget (hah saya baru sadar, kemane ajee?). Kamipun akhirnya mulai ngobrol, walaupun nggak banyak (karena dia pendiam banget).

Saya mulai sering memperhatikan dia ketika jumlah mantan yang dia pacari sampai kelas 8 ini sudah mencapai setengah lusin. Banyak anak-anak perempuan yang ngegosipin dia, bahkan ada yang ngatain dia ini dan itu. Saya sendiri nggak nyangka, seorang gadis manis yang elegan bisa berganti-ganti pacar sesering ganti baju. Tapi, saat itu saya nggak benci dia. Hanya sedikit terkejut sama gosip-gosip yang beredar, dan Mitha juga nggak berusaha membersihkan namanya. Kayak, yaudah, dibiarin aja gitu.

Pertama kali lihat Mitha pacaran, sejujurnya, adalah saat kami mewakili sekolah untuk ikut lomba kesenian di balai kota. Mitha, saat itu, berpacaran dengan Aldo. Saya mengamati gimana mereka duduk berdua dengan tangan terpatri. Mereka nggak saling bicara, tapi saya melihat bahasa tubuh mereka. Bagaimana si cowok begitu memuja Mitha dan mau ngasih apa aja buat bisa terus pacaran sama dia. Saya sejujurnya iri, karena sama sekali belum pernah ngerasain pacaran. Saya iri melihat Mitha dipuja cowok-cowok, baik itu pacarnya maupun cowok-cowok yang udah jadi mantannya. Tapi irinya masih positif, ya, bukan iri yang benci gitu.

Saya cukup bisa dibilang berteman sama Mitha walaupun nggak akrab, karena kami satu ekskul dan dia sekelas dengan Egi, teman satu ekskul kami yang saat itu sedang pedekate sama saya. Saya pernah denger gosip kalo Egi dulunya juga sempet naksir Mitha. Anehnya, saya nggak pernah ada perasaan cemburu atau sebal, padahal dia pernah disukai sama Egi, ataupun udah pernah mematahkan hati Leraf. Saya menganggap Mitha adalah teman saya.

Sampai akhirnya, tiba saat di mana saya pacaran dengan Aldo di kelas 9. Iya, Aldo, yang dulunya pernah pacaran sama Mitha di kelas 8. Waktu saya pacaran sama Aldo, kebetulan Mitha udah punya pacar juga, tapi bukan anak sekolahan kami. Nama pacarnya adalah Rake.

Di suatu sore, tiba-tiba saya dapat SMS. Dari Mitha rupanya.
"Hai, Dir! Ini aku, ceweknya Rake.." dan blablabla, kami ngobrol panjang kali lebar. Dia nanya, apakah bener saya jadian dengan Aldo. Lalu, katanya dia mau ngomong sesuatu, tapi enggak sekarang. Saat saya desak dia, dia tetep nggak mau ngomong.
"Empat bulan lagi aku bilang ke kamu. Aku nggak mau ngerusak sesuatu yang indah," gitu katanya. Huft. Bingung karena nggak paham apa maksud dia, akhirnya saya berusaha lupain apa yang mau dia omongin.

Proses pacaran dengan Aldo ternyata cukup menggali rasa cemburu saya ke Mitha. Gimana enggak? Aldo selalu bahas Mitha, selalu aja mengenang apapun tentang Mitha. Lama-lama, saya kayak ngerasa dibandingkan. Saya mulai perhatiin foto-foto Mitha (yang ternyata banyak tersebar di handphone anak-anak perempuan di sekolah saya. Rata-rata, sih, mereka berpacaran dengan mantannya Mitha). Saya mulai perhatiin bahwa ternyata anak-anak perempuan yang benci Mitha adalah mereka yang cemburu dengan Mitha. Dan, saya sekarang termasuk di dalamnya. Saya mulai mem-bluetooth foto-foto Mitha dan mulai menyama-nyamakan gaya saya dengan Mitha. Saya mulai nge-add Friendsternya Rake, pacarnya Mitha. Dan, lucunya, Rake bilang kalo saya mirip Mitha. Hell-oo? Mirip Mitha? Nggak salah? Saya ibarat itik kecemplung comberan, sementara Mitha udah kayak Princess Aurora. Celakanya, Mitha juga tau kalo dia dimirip-miripin sama saya. Dan, dia tertawa terbahak-bahak. Sial.

Menjelang kelulusan, Aldo mutusin saya. Pas banget ketika ujian sekolah. Jahat, kan? Saya, yang sedang patah hati, berusaha mencari jawaban kenapa Aldo mutusin saya. Puzzle demi puzzle kecurigaan mulai saya susun, dan akhirnya banyak menemukan titik temu. Termasuk menemukan poin ketika Mitha SMS saya beberapa bulan lalu. Lalu, saya menanyakan ke Mitha. Sayangnya, dia lupa! Tapi, saya cukup dapat jawaban ketika saya bertanya apakah Aldo masih sering SMS dia dan ngajakin dia balikan (ketika masih pacaran dengan saya). Dan, jawabannya IYA.

Bangkek banget, kan? Harga diri saya terasa runtuh di hadapan Mitha. Aldo penyebabnya. Dan, Mitha bisa memperkirakan juga berapa lama saya dan Aldo bisa bertahan. Meskipun meleset sih, perkiraan dia 4 bulan, sementara saya bisa bertahan sampe 7 atau 8 bulan aja. Tapi, tetep aja hebat. Udah paham kali, ya?

Tapi, ternyata saya cukup bodoh dan bucin dengan Aldo, karena ujung-ujungnya saya balikan saat SMA kelas 10. Rasa insecure saya masih cukup kuat karena saya masih suka kepoin Mitha di Friendsternya Rake (waktu itu, Mitha nggak punya Friendster). Yaa gimana enggak insecure? Aldo ternyata ngedownloadin semua foto-foto Mitha di Friendster. Trus, pas ketauan, doi cuma senyam-senyum tanpa ada rasa bersalah. Kan, anjyiaang yha!

"Dir, kamu jadi dirimu sendiri aja mending. Supaya kamu nggak jadi bayangannya Mitha," kata temen saya, ketika masih saja memergoki gaya foto saya yang dimirip-miripin sama Mitha. Bahkan, temen saya sampe hafal kalo gaya foto saya itu semuanya ikut-ikutan Mitha. Rata-rata temen SMA sayapun jadi tau tentang Mitha, karena saking seringnya saya kepoin Mitha, padahal saya dan Mitha sudah beda sekolah. Tapi saya tetep nggak mau denger. Bagi saya, Mitha adalah kiblat. Dan saya nggak bisa berhenti untuk jadiin dia trendsetter buat saya.

Tapi, pada akhirnya saya mulai kehilangan media untuk kepoin Mitha, karena dia udah lama putus dengan Rake. Otomatis, Rake ngehapusin foto-foto Mitha di Friendsternya. Mitha juga jarang aktif di sosial media. Fotonya cuma itu-itu aja. Terlebih, setelahnya, saya udah putus sama Aldo. Kali ini putusnya for good yah! Tapi, meskipun udah move on dari Aldo, saya selalu sempetin ngintip profil Fesbuknya Mitha. Entah kenapa, gadis itu seperti punya daya tarik tersendiri untuk saya ikuti. Meskipun, yah, dia udah jarang-jarang update. Bahkan, temen-temennya pun jarang ngetag dia di Fesbuk.

Tahun 2011. Saya dikejutkan berita bahwa Mitha udah nikah dan punya anak. Sejujurnya, berita ini nggak terlalu mengagetkan, tapi tetep aja kaget, hehe. Saya masih terus kepoin dia, kepoin suaminya, pokoknya jiwa kepo saya ke Mitha masih nggak berubah. Entah kenapa. Dan, saat itu, akhirnya saya nemuin sebuah titik dalam kekepoan saya yang tiba-tiba mengetuk hati saya untuk nggak kepoin Mitha lagi.

Sejak saat itu, saya udah nggak kepoin Mitha lagi. Saya merasa, udah nggak ada lagi yang bisa dikepoin dari seorang Mitha. Role modenya udah berakhir dan akhirnya saya moving forward. Tidak ada yang salah dari Mitha, namun saya sudah berubah. Mungkin karena hidup saya yang makin dewasa, dan Mitha yang makin menghilang dari circle saya, membuat saya nggak lagi bisa menemukan apa yang bisa dikepoin dari Mitha. Hidup saya berjalan cepat sekali hingga lima tahun lalu saya bekerja di sebuah perusahaan di Jogja. Nggak lama setelah saya masuk, saya baru tau kalo suaminya Mitha kerja di kantor yang sama dengan saya.

Masya Allah.

Sempitnya hidup saya, karena selalu aja dipertemukan dengan Mitha, meskipun saya sudah bertahun-tahun lupa dengan Mitha dan nggak pernah lagi denger kabarnya. Akhirnya, setelah beberapa tahun, kami ketemu (lagi) di acara kantor. Saya dateng sendiri, sementara dia dateng bareng suami dan tiga anaknya. Mitha sudah berjilbab, sama seperti saya yang sudah berjilbab. Dia masih kalem dan sopan seperti dulu. Masih irit ngomong, biarpun cukup ramah untuk menyapa. Ngobrol sedikit, lalu akhirnya dia permisi karena anaknya udah nggak sabar pengen ikutan acaranya. 

Setelah lebih dari 15 tahun lalu sejak pertama kali saya bertemu Mitha, saya nggak pernah menyangka akan ketemu lagi dalam keadaan seperti ini. Mitha yang dulu bener-bener mencerminkan cewek idola para cowok. Yang manisnya nggak ada yang nandingin. Penampilannya selalu kekinian, dengan lip gloss warna pink kalem yang terpulas di bibirnya. Rambutnya dismoothing pake merk mahal jadi terlihat lurus alami. Barang-barangnya branded, handphonenya selalu merk dan tipe terbaru. Dan, selalu dijemput pake sopir pribadi dengan jeep keren. Punya segambreng fans yang berebutan pengen jadi pacarnya. Sekarang, Mitha begitu sederhana. Penampilanya sederhana, sambil menggendong tas besar yang mungkin aja berisi perlengkapan anak-anaknya. Satu tangannya mendorong stroller sementara tangannya yang lain menggandeng anaknya yang selalu menempel. Wajahnya polos tanpa makeup, bahkan tanpa pulasan lipstik. Jilbabnya sederhana, pun bajunya juga. Udah nggak ada lagi barang branded yang dipakai. Tapi, tetep aja, wajahnya masih cantik dan manis kayak dulu. Nggak ada yang berubah.

Saya nggak nyangka, pada akhirnya Mitha akan memilih jalan hidup yang seperti ini. Saya pikir, Mitha bakal jadi mbak-mbak sosialita yang pacarnya ganti-ganti. Saya pikir, Mitha akan jadi selebgram yang selalu sharing hal-hal kekinian. Ternyata, Mitha memilih untuk turning private of her life. Menikah dan hidup dalam damai, menjadi Ibu rumah tangga yang mengurus tiga anak kecil di rumahnya. Memilih untuk menjauhi circle-circle yang terdahulu. Nggak pernah hadir ketika ada reuni sekolah. Dia memilih untuk hidup tenang dengan pernikahannya yang udah berjalan lama. Mungkin, dia udah nggak mau lagi menengok kehidupannya yang dulu.

Saat ini, kami masih saling follow di instagram. Kadang bertukar komentar, kadang saling like foto. Tapi, saya udah nggak tertarik lagi untuk kepoin Mitha. Saya hanya sekedar tau kehidupannya lewat postingannya yang nggak sengaja nongol di feed saya. Mitha sekarang jadi Ibu rumah tangga, sambil menerima pesanan nasi kotak atau ayam utuh yang dimasak apaa gitu. Lupa persisnya. Kadang-kadang dia posting tentang anaknya yang udah masuk SD, juga posting tentang hewan peliharaannya. 

Jujur, rasa cemburu itu udah bertahun-tahun hilang. Rasa benci yang pernah muncul dalam hati juga sudah lama menguap. Saya melihat Mitha tidak lebih dari seorang teman lama yang akan selalu saya doakan hidupnya. Tidak ada benci atau dendam. Mitha adalah perempuan yang baik. Mitha, secara tidak langsung, memberikan banyak sekali pelajaran berharga dalam hidup saya. Saya belajar untuk memaafkan diri sendiri. Saya belajar untuk mengikhlaskan dendam. Plus, saya belajar bahwa iri dengki itu adalah sesuatu yang sangat buruk. Meskipun ada sebab akibat dari munculnya rasa cemburu/iri dengki, namun tetep aja itu sesuatu yang buruk dan harus saya hilangkan. Melalui Mitha, saya belajar untuk menjadi manusia yang memandang orang lain secara lebih positif. Buruknya orang mudah dicari, namun kebaikan orang susah diingat. Mitha menyadarkan saya bahwa tidak ada manusia yang sempurna. Tidak ada gunanya memelihara rasa benci di hati. Dan yang paling penting, Mitha menyadarkan saya untuk menjadi diri sendiri. Bertahun-tahun memandang Mitha sebagai role mode, pada akhirnya saya menyadari bahwa saya seharusnya mencintai diri sendiri dan percaya pada diri sendiri. In the end, I just knew that I really love myself, and big thanks to Mitha for this.


Di manapun Mitha saat ini, I just wanna say thank you for all feeling I've ever felt to you. Semuanya, dari rasa iri yang positif, lalu berubah menjadi iri yang negatif, insecure pada diri sendiri, cemburu, dan bertahun kemudian berubah menjadi rasa terima kasih yang teramat besar karena pernah merasakan semuanya dan mengalami perubahan di dalam diri. Bertumbuh berdampingan dengan Mitha, meskipun nggak pernah menjalin persahabatan dengan dia, membawa dampak yang begitu besar dalam diri saya. Ketika usia saya sudah lebih dari dua kali lipat dari pertama kali saya melihat Mitha, kami bertumbuh jadi orang dewasa yang memiliki jalan hidup berikut dengan kedamaiannya masing-masing. Saya akan terus mengingat Mitha sebagai perempuan yang baik, yang pernah mengajarkan saya secara tidak langsung mengenai pahit manisnya kehidupan seorang remaja. Yang kemudian menjadi proses yang sangat berarti di hidup saya. Memaafkan diri dan berdamai pada diri sendiri adalah satu hal, namun memandang seseorang yang kita benci dengan pandangan yang positif adalah hal lain yang sulit dijalani. Namun saya berhasil juga pada akhirnya. And, again, I thank Mitha for this. 

Thank You For All, Mitha..



2 komentar

  1. Pengalaman itu membawa dirimu pada pengampunan. Itu adalah langkah besar dan luar biasa....

    ReplyDelete